Dapat Insight Saat Kuliah Luring UINSA


Orang lain tidak pernah tahu bagaimana kita menjalaninya, jika tidak diceritakan

 duniahalimah.com--Selasa, 1 Maret 2022 aku pergi ke kampus untuk mengembalikan buku dan berencana pergi ke akademik pasca. Hari itu pula pertama kalinya mahasiswa semester 2 dan 4 kuliah luring. Semester 2 berarti angkatan 2021 dan semester 4 angkatan 2020 yang keduanya selama ini tidak pernah kuliah tatap muka di kampus.

 Aku berangkat dari Sidoarjo dengan menyewa jasa Grab. Tiba-tiba di perjalanan rintik-rintik kecil mulai turun, akan tetapi aku dan pak Grab memilih untuk lanjut saja. Sesampai di kampus, rintik hujan mereda  dan tampak telah banyak mahasiswa lalu lalang memasuki kampus.

Setiba dikampus aku juga sempat mendokumentasikan keramaian. Menyaksikan mahasiswa, aku jadi teringat masa-masa perkuliahan dulu saat S1. Canda, tawa, kesibukan organisasi, dan mengerjakan tugas bersama teman-teman adalah rutinan setiap hari. Masih begitu jelas bagaimana setiap sudut kampus menyisakan kenangan di tahun-tahun itu. Walaupun tidak hanya berisi keseruan, tapi aku tetap merindukannya.

Beberapa gambar telah kuabadikan dengan gawai, sesekali kuberhenti dan aku sempat berkenalan dengan seorang mahasiswa dari Ilmu Alqur’an dan Tafsir semester dua, asal Bangkalan. Sekadar basa-basi dengannya, lalu aku melanjutkan perjalanan mengambil gambar sampai ke fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Kemudian, menyempatkan duduk sebentar di gazebo di depan gedung F2.

Selanjutnya, aku memilih untuk ke perpustakaan mengembalikan buku. Beberapa menit kemudian, aku mendapatkan pesan dari salah satu teman Pascasarjana yang kebetulan ke kampus juga. Selepas dari perpus aku menemui temanku itu, ya ada Mbk Afiyah dan Cak Badrud Tamam. Mbk Afiyah ini temanku dari S1 dulu, termasuk seorganisasi di IQMA. Sedangkan Cak Badrut adalah teman online pascasarjana yang baru kali ini bertemu.

Kami bertiga segera pergi ke ruang akademik Pasca di gedung B Twin Tower lantai 2. Sesampai di sana, masih menunggu antrian untuk masuk ke ruang akademik. Mengingat hari pertama luring, jadi cukup ramai mahasiswa menghadap pihak akademik. Sembari menunggu, kami bertiga saling bertukar cerita, melempar semangat dan sesekali bicara harapan.

Cukup lama kami berada di akademik, hingga saatnya tiba kami  keluar dan memutuskan ikut mbk Afiyah ke fakultas Ushuluddin untuk mengambil absen. Sepanjang perjalanan kami  terus berbicara apa saja. Selepas dari akademik fakultas, kami  menuju kantin dekat Audit karena Cak Badrut katanya sedari pagi belum sarapan.

Ketika memasuki area samping Audit kami bertemu dengan Cak Amin, temanku juga asal Lumajang. Jadilah kami berempat menuju kantin. Aku memilih tidak memesan, karena sudah sarapan di klinik, cukup pesan teh hangat saja. Mbk ‘Afiyah juga tidak pesan karena sudah membawa bekal. Sedangkan Cak Badrut dan Cak Amin yang memesan sarapan.

Kami berempat duduk ngemper di sebelah audit sembari bercerita ke sana kemari. Bicara soal kapan terakhir sidang, soal Toefl, kuliah, dan yang paling terakhir soal kehidupan. Mbk Afiyah selepas makan memilih untuk undur diri karena ada tugas masuk kelas dari dosennya. Setelah itu, Cak Amin juga pergi karena ada jadwal mengajar. Hingga akhirnya tersisa aku dan Cak Badrut.

Meski kedua temanku sudah pergi, Cak Badrut malah melanjutkan ceritanya panjang kali lebar soal kehidupan. Entah, aku tidak bisa berkomentar banyak, karena dia begitu mendominasi dalam ceritanya. Dia bercerita soal pekerjaannya sebagai guru di salah satu sekolah swasta dan gajinya hanya 1 Juta. Namun, orang-orang menganggap gaji dia banyak sekali.  Kata dia, selain mengajar ia juga mencari sumber keuangan lain, seperti menerima siswa muroja’ah Alqur’an, jualan sarung, bertani, dan masih banyak lagi.

Dia sekarang hidup dengan ibu sambungnya. Meski ibu sambung, kasihnya melebihi ibu kandung. Bahkan menjadi motivasi untuk Cak Badrut terus semangat dalam menjalani hidup. Ia memiliki empat saudara,  dua adiknya telah menikah yang setiap kali bertengkar, pasti meminta nasehat kepadanya.Akibat didahului nikah oleh adik-adiknya itu, ia kerapkali mendapatkan sentilan ketika hari raya tiba. Namun, beruntungnya sudah survive dengan pertanyaan-pertanyaan kapan nikah.

Dia juga bercerita bahwa lanjutnya kuliah di pascasarjana UINSA karena sebuah pelarian atas kegagalan pernikahannya. Sempat depresi karena wanita yang dianggapnya sebagai tulang rusuk ternyata memilih untuk menggagalkan. Padahal persiapan sudah hampir matang. Orang tuanya pingsan saat mendengar berita kegagalan dari pihak wanita. Akan tetapi, sekarang ia sangat bersyukur karena kegagalan pernikahannya.

Sebetulnya, masih banyak  lagi yang diceritakannya kepadaku dan aku tidak mungkin menuliskan lengkap di sini. Cukup menjadi arsip dalam  otak dan blog sebagai jejak, bahwa aku pernah mendengarkan cerita dari temanku tentang kehidupan.

Saat asyik bercerita, tiba-tiba teleponnya berbunyi, pertanda dia telah dijemput oleh temannya di depan gerbang kampus. Cerita belum selesai, dan dilanjutkan sepanjang perjalanan hingga depan masjid Ulul Albab. Seketika kulemparkan pertanyaan, “Cak, mengapa menceritakan kisah hidupmu kepadaku?” Dia pun menjawab, “Aku ingin memiliki teman untuku bertukar cerita.” Dari sini aku melihat, saat bertemu seseorang “meskipun sebelumnya belum pernah bertemu” lalu dengan mudah bercerita, artinya dia sefrekuensi. Hari itu aku banyak belajar tentang kehidupan.

“Soal hidup, kita yang menjalani bukan orang lain. Orang lain tidak pernah tahu bagaimana kita menjalaninya, jika tidak diceritakan”

Semoga bermanfaat

Tonton Juga: UINSA Hari Pertama Kuliah Luring Selama Pandemi 

Post a Comment

0 Comments