Belajar dari Si Nenek dan Hartanya

Ilustrasi (Foto: Internet)
Ilustrasi (Foto: Internet)
 

duniahalimah.comAda seorang nenek tua yang kerapkali sakit. Ia adalah seorang anak manusia yang lahir dan dibesarkan di desa dengan memiliki kebiasaan pekerja keras. Alhasil ketika berada di kondisi sakit, emosinya seringkali tidak terkontrol.

Orang terdekatnya, seperti anak dan cucunya, kerapkali menyaksikan si nenek mengeluh. Lebih tepat dikatakan marah-marah dengan keadaannya. Ketika dilarang memakan beberapa macam makanan—demi kesehatannya—malah balik marah-marah. Mungkin keadaan si nenek inilah yang dikatakan sebagai, “orang makin tua, semakin kembali sifatnya seperti anak-anak.”

Disamping soal marah-marah, ternyata adapula yang mengusikku untuk menuliskannya. Iya, soal meracau harta yang telah habis. Begitu heran, mengapa harta bisa membuat seseorang seperti itu. Masih sempat mengingat harta padahal sakit sedang mengulum tubuhnya. Bukankah seharusnya di kondisi seperti ini, sehat adalah pikiran utama?

Mendapati ini, pikir melambung setinggi-tingginya, lalu kembali pada pembahasan di bangku kuliah di strata satu pada zamannya. Tentang “hubbuddunyya,” usut punya usut, ternyata harta benda, seperti sapi yang dimilikinya selama ini selalu raib dibawa anak bungsunya. Barangkali itulah salah satu musabab mengapa  si nenek mengalami kondisi semacam itu.

Aku tidak tahu bagaimana menggambarkan kondisi sebenarnya, yang jelas persoalan “hubbuddunya” perlu diperbincangkan dalam tulisan ini. Bagaimana seseorang yang begitu mencintai dunia, sehingga ketika hilang dari pegangan tangannya, ia akan begitu sedih, frustasi. Bahkan tidak aneh jika menjemput depresi.

Kondisi marah, sedih, kecewa mencengkram kemudian mengoyak tubuh. Meminjam istilah dari ilmu kesehatan, kondisi seperti ini disebut psikosomatis. Di mana awal mulanya dari emosi, setelah itu beralih pada fisiknya. Ilmu psikologi seringkali menyebut jika banyak orang yang sakit mulanya dari emosi kemudian berimbas pada fisik. Meski begitu, tetap saja orang-orang lebih tertarik mengobati sakit luar dibandingkan dengan memfokuskan pada mengobati sumber penyakit.

Sedangkan si nenek tadi berada di posisi ini. Namun sayangnya anak-anaknya tidak terlalu memahami tentang keadaannya. Apalagi soal harta yang habis. Anak-anaknya menganggap, jika sudah tua tidak perlu bekerja. Akan tetapi keinginan antara sang anak dan orang tuanya tidaklah sama. Hingga ujungnya begitu.

Saat ini, kondisi si nenek semakin parah. Dirawat di sebuah rumah sakit di kota. Sedangkan suami si nenek juga sakit di rumahnya. Kira-kira juga disebabkan oleh keadaan seperti nenek. Namun perbedaannya si kakek tidaklah mengeluh dengan keadaannya.

Berangkat dari fenomena ini, ternyata usia makin tua tidak menjamin seseorang bisa bijak dalam menyikapi sesuatu. Tidak juga bisa memahami bahwa harta adalah titipan yang sifatnya sementara.  





Post a Comment

0 Comments