MEREDUKSI KEKERASAN DARI WACANA KE FISIK

 

Ilustrasi: (Foto:Internet)

Hari ini, kekerasan seringkali menghantui masyarakat Indonesia. Persaoalan ini menjadi semakin “gentayangan” ketika dihadapkan dengan agama. Kasus yang terjadi di Surabaya menjadi bukti konkrit bahwa kekerasan selalu mengalami dinamika yang semakin gencar. Kasus kekerasan yang sudah terjadi seharusnya menjadi solusi untuk membenahi masyarakat Indonesia menjadi lebih bermartabat bukan malah semakin meruncingkan persoalan yang semakin merajalela.  


Masyarakat Indonesia seakan tidak pernah sepi dengan kekerasan dari ruang publik. Sehingga penting melacak akar munculnya kekerasan beserta sumber dan latar belakang kekerasan tersebut. Dr.Aksin Wijaya, misalnya, dalam bukunya dari membela tuhan, ke membela manusia membagi kekerasan ini menjadi dua: pertama, kekerasan wacana. Kedua, kekerasan fisik.


Kekerasan wacana adalah kekerasan yang banyak muncul di media sosial seperti memberi label kafir, bid’ah, sesat, dan penista agama. Kekerasan ini muncul karena sikap fanatisme suku yang selalu menganggap dirinya paling benar di antara golongan yang lain. Mereka mengkuduskan pemikiran dan doktrin kelompoknya sendiri dan mengkafirkan pemikiran kelompok yang lain. Kekerasan wacana ini lebih menusuk kepada hati dan jiwa sehingga sulit dicari obatnya dan memunculkan “ego sektoral” yang berkepanjangan.


Kekerasan fisik adalah kekerasan yang dilakukan secara terang-terangan kepada suatu kelompok atau orang tertentu seperti pembakaran tempat ibadah, pemukulan dan pembunuhan. Kekerasan seperti inilah yang mengakibatkan permasalahan semakin berkepanjangan dan lebih bersifat melukai fisik juga batin manusia.


Menanggalkan Sikap Reaksionis dalam Jiwa Mahasiswa  

Mahasiswa sebagai orang terdidik dan terpelajar yang masif bertahan dengan dunia pergerakannya menjadi garda terdepan dalam mengawal kasus kekerasan ini. Mahasiswa mempunyai peran vital dalam menanggulangi dua kekerasan ini karena cara menyelesaikan permasalahan seorang yang mempunyai intelektual yang komprehensif berbeda dengan orang awam pada umumnya.


Mahasiswa harus menanggalkan sikap reaksionis dalam jiwanya. Reaksionis adalah suatu sikap di mana mahasiswa “termakan” oleh isu media yang sedang gencar menjalar di dunia cyber sehingga tanpa melakukan berbagai pertimbangan serta kajian mendalam terlebih dahulu mahasiswa langsung terjun ke lapangan melakukan demo. Mereka ingin menyelesaikan permasalahan hanya dalam sekali duduk.


Hal ini harus diwaspadai karena penanganan terhadap masalah seperti ini seringkali memicu kekerasan yang timbul secara fisik maupun wacana. Meskipun secara sekilas penyelesaian dengan demo baik karena memperjuangkan hak asasi manusia tetepi cara yang dilakukan kurang mencerminkan orang yang berpendidikan. Cara seperti ini masih tidak mencapai level “ma’ruf” yang diinginkan oleh agama.


Bercermin pada Wali Songo

Sebagai orang terdidik, paling tidak mahasiswa mendiskusikan terlebih dahulu dalam melakukan kritik sosial. Kritik yang relevan harus menyajkan mana negatif dan mana positif ke ruang publik. Sehingga masyarakat akan menilai sendiri bagaimana bertindak yang benar dalam mengatasi kekerasan tersebut. Sehingga akan sirna antara kekerasan fisik dan wacana.


Baca Juga: Penyebaran Islam di Nusantara Pertama Kali Dinilai Kreatif


Mahasiswa seharusnya bercermin kepada dakwah wali songo dalam membumikan Islam di Jawa. Dakwah wali songo selalu beradaptasi dengan situasi dan kondisi sehingga meskipun mengalami pertentangan dari masyarakat pribumi tetapi wali songo masih bisa meredam dua kekerasan tersebut. Mereka mendekati hati nurani pihak yang bersangkutan dengan ajaran yang sopan dan mulia.


Salah satu cara wali songo dalam berdakwah adalah dengan hikmah, peringatan, kemudian berdialektika dan akulturasi dengan tradisi masyarakat sehingga mereka tidak gampang menyalahkan antara satu dengan yang lainnya. Menghargai perbedaan sebagai suatu kelebihan yang dikedepankan. Dakwah wali songo bisa dijadikan landasan mahasiswa meredam kekerasan dari yang berbentuk wacana hingga ke permasalahan paling krusial yaitu fisik.              .


                  *Abdul Warits, Calon Sarjana Ilmu Al-Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin   Instika Guluk-Guluk Sumenep.

Catatan:

Tulisan ini adalah salah satu karya sahabat saya. 

 


Post a Comment

0 Comments