Agama dan Sains? Mungkinkah Bersatu

Ilustrasi: (Foto: Internet)


Bisakah keduanya bersatu? Atau sebetulnya sudah bersama. Atau jangan-jangan mata terhijab menutupi tersigkapnya penyatuan keduanya. Ah, terlalu cepat memutuskan tanpa coba mendalaminya. Bagaimana akan bicara sedalam-dalamnya, apalagi hingga menyalahkan, jika belum kelar membaca dan menyelaminya.


duniahalimah.com—Dalam pembukaan tulisan ini saya kira sejalan dengan  pengantar buku yang ditulis Haidar Baghir dan Ulil Abshar Abdalla. “Mencemooh agama sebetulnya tindakan kepongahan belaka dan kesempitan wawasannya.” Begitulah yang terjadi akhir-akhir ini, jika Al-Ghozali mengkritik filsafat dengan mendalami ilmunya hingga ke akar-akarnya, barulah ia menulis tahafut al falasifah. Namun bagaimana dengan pengkritik sekarang? Ya, kalian bisa menilainya sendiri.


Pengkritik atau lebih tepat netizen, sembari menyandang sifat qutbismenya—agama  maupun sains--dengan lantang menganggap dirinyalah paling benar dan selainnya salah. Bahkan tidak cukup di situ, dengan lagak pongah mengumandangkan takbir dan mengkafir-kafirkan. Begitu pun sebaliknya di dalam sains. Dalam sains sendiri menilai, jalannya lebih damai meski berbeda temuan namun tak saling tengkar. Ya, “Seakan-akan hanya jalannya yang paling damai.” Padahal sebetulnya tindakan sains ini wajar-wajar saja, layaknya dua orang Ngawi, bersahabat akan tetapi berbeda dalam soal soto. (hal 103)


Kata Ulil Abshar, ketika pendukung sains menepuk dada, jelas ini menggelikan. Karena sains maupun agama, memang membawa sisi ontologis. Namun keduanya berbeda. Agama masuk ke dalam emosi  yang terdalam diri manusia, sedangkan sains cenderung rasional. Wajar saja, jika dalam penemuan sains tidak ada yang rela mati syahid, sedangkan di agama hingga titik darah penghabisan.


Baca Juga: Inilah Solusi Agar Tak Salah Paham


Jauh sebelum sains muncul, sebetulnya agama Islam lebih dahulu mempelajari ilmu sains. Terbukti beberapa tokoh lahir dan mempengaruhi dunia barat sampai sekarang. Seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, dan lain sebagainya. Bahkan beberapa sarjana barat juga mengamini hal ini (read: sains religius). Di sisi lain sains juga tidak terlepas dari agama. Jika agama berbicara tentang sesuatu yang tidak bisa dirasionalkan dan empiriskan. Sedangkan sains sebaliknya. Namun menjadi mengernyitkan dahi, di kala sains berusaha menjelaskan apa-apa yang bukan kajiannya, karena sebetulnya ranah bicara keyakinan dan bukan sains lagi.


Buku ini tidak tebal, sekitar 172 halaman saja. Dengan terbagi menjadi dua bagian, pertama tulisan Haidar Baghir dan kedua Ulil Abshar Abdalla. Keduanya begitu lihai menghadirkan cuitan-cuitan tulisan renyah yang saya kira bisa dibaca, bahkan orang awam sekalipun. 


Bagi saya buku ini menarik, apalagi menyoal agama dan sains. Dalam bab 21 Ulil menyebut, sebetulnya pertentangan sains dan agama ini sangat khas Barat. Menilik sejarahnya, kaum agamawan (pihak gereja) bertindak bengis kepada sains. Hingga kini terjadilah semacam trauma kepada agama. Sedangkan dalam agama Islam sendiri sebenarnya tidak ada yang bermasalah.

 

Jika keduanya bisa didamaikan, kenapa kita saling anti antar satu dan lainnya?


*)Nurhalimah, owner duniahalimah.com. Kegiatan keseharian selain menulis dan membaca, juga berselancar di dunia maya.

Nb. Telah terbit di kamianakpantai.com pada tanggal 27-09-2020. Silakan kirimkan naskah Anda ke email, kamianakpantai21@gmail.com. 

  

Post a Comment

0 Comments