SEJATINYA KEMATIAN DALAM KEHIDUPAN

Hari ini 26 Mei 2020, kabar duka atas wafatnya dua ulama dan  ayahanda dari salah satu anggota Pena Aksara (sebuah komunitas menulis online yang telah saya ikuti beberapa tahun lalu).  Kabar terbaru yang saya temui baru saja dari salah satu status whatsAap menyebut empat ulama besar Yaman meningggal pada hari ini juga. Mendapati kabar  kematian sejatinya adalah hal lumrah, di mana kata ini melengkapi kehidupan.

Alqur’an seringkali menyebut tentang kematian, seperti dalam surah Al-Ankabut ayat 56, kullu nafsin dzaaiqotul maut, bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Kematian selalu terjadi setiap saat, di mana datangnya tidak pernah terkira sebelumnya. Bukan karena sakit berkepanjangan, bukan pula karena usia yang telah bertambah-tambah, namun kematian itu akan datang kapan saja dan pada siapa saja. Tidak ada manusia yang bisa melepaskan diri dari kematian, bahkan nabi dan ulama pun juga merasakannya.

Di hari ini pula salah satu teman kelas—di bangku kuliah—usianya bertambah menjadi dua puluh dua. Sontak saja kepala saya berasumsi, sejatinya bertambahnya umur  seseorang berarti usia kita di dunia juga berkurang.  Bertahun-tahun lamanya hidup di dunia ini, namun apakah sudah benar-benar mempersiapkannya? Padahal Rasulullah sempat menyebutkan dalam sebuah hadis, orang yang pandai dan orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengingat kematian, serta bersungguh-sungguh dalam mempersiapkannya.  

Ketika peristiwa kematian mendatangi seseorang, inilah pelajaran bagi kita sendiri. Bahwa kematian sangatlah dekat dengan kita. Namun terkadang kita sendiri seringkali lupa dan lalai, seakan-akan hidup selamanya. Pontang panting mencari harta seakan-akan seluruhnya akan dibawa ke alam kubur sana. Padahal yang akan dibawa kelak di alam kubur hanya ada tiga saja. Selebihnya tidak akan kita bawa. Tiga hal itu ialah sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.

Pakaian bagus saat di dunia tergantikan dengan kain putih sederhana. Tanpa jahitan di sana-sininya. Beralaskan tanah dan berbantal tanah juga. Menempati ruang sempit dengan dinding-dindingnya dari tanah. Sendirian, tanpa ada anak, isteri, kerabat, maupun orang tua. Hawa dingin menyeruak, tanpa selimut untuk menghangatkan tubuh. Namun itu semua akan menjadi berbeda, tergantung pada amal setiap kita.

Sebagian orang pastinya takut dengan kematian, meskipun takut, tetap saja kita tidak bisa lari. Sekalipun bersembunyi di lubang semut, pasti akan ketahuan juga. Akan tetapi ketakutan yang dirasakan orang-orang umumnya sangatlah berbeda dengan anggapan para sufi. Dialah manusia-manusia arif yang cintanya kepada Tuhan melebihi segalanya.

Sebuah syair diterbitkan dalam sebuah tulisan di alif.id[1]

“Ketika aku mati
ketika peti matiku
dibawa
jangan pernah kamu berpikir

bahwa aku rindu dunia ini

jangan mengucurkan air mata
jangan meratap
atau merasa sedih

aku tidak jatuh
pada jurang yang menakutkan

ketika kau melihat
 jasadku dibawa
jangan menangis untuk kepergianku

aku tidak pergi

aku datang pada cinta yang abadi

ketika kau meninggalkanku
di kuburan
jangan mengucap selamat tinggal

ingatlah, kuburan
hanyalah sebuah tirai
untuk surga yang akan datang

kau hanya akan melihatku

masuk ke dalam kuburan

sekarang lihatlah aku yang bangkit

bagaimana disana sebagai akhir

ketika matahari tengelam

dan rembulan ketilam

 

 ini terlihat seperti akhir

terlihat seperti senja

tapi dalam realitanya, ini adalah fajar

ketika kuburan menguncimu

itu adalah waktu ketika jiwamu terbebaskan.

 

Syair  Rumi di atas begitu tampak mengatakan, sejatinya kematian dan dikuburkannya jasad adalah media untuk kembali pada sumber cinta abadi. Hakikat dari jasad yang dibenamkan dalam kubur adalah  terbebasnya jiwa manusia. Selaras dengan sebuah kalimat, entah saya dengar dari siapa, ketika bayi lahir ke dunia dia menangis dan orang sekitarnya bahagia.  Sang bayi menangis  karena dia terlahir di dunia yang penuh dengan kefanaan. Namun ketika manusia meninggal, orang-orang sekitarnya menangis dan yang meninggal bahagia karena sudah terbebaskan.

Kematian adalah sesuatu yang pasti. Mari kita bersama-sama menyiapkan bekal untuk menemuinya kelak. Entah, kapan!!



[1] Ali Jafar, https://alif.id/read/ali-jafar/menghayati-kidung-kematian-rumi-b213379p/ diunduh pada 26/05/2020 pukul 10:39


Post a Comment

0 Comments