Oleh Nurhalimah
Matahari nampaknya malu-malu menampakkan wajahnya, seraya berusaha
bersembunyi di balik gunung Lemongan sana. Gunung yang jauh, terlihat dekat
pagi ini. Apalagi ditambah dengan semilir angin menerpa dedaunan di pagi ini. Suasana
embun pagi menyejukkan diri yang menghirupnya. Kicauan burung-burung terbangun
dari sarangnya, mereka saling berkicaun, bersahut-sahutan, menyanyikan lagu
pagi yang menyenangkan. Bunga-bunga di teras rumah saling tersenyum menyapa
pagi.
Namun, tidak denganku yang tiga ratus enam puluh derajat berbanding
terbalik dengan suasan pagi ini. Mataku bengkak, mukaku kuyu, aku tetap
terisak-isak, menangis sepanjang malam. Barulah aku reda setelah adzan subuh
berkumandang. Aku tak pernah membayangkan kejadian ini terjadi padaku
sebelum-sebelumnya. Ketika ku mencoba kembali mengingat kejadian yang kemarin,
hatiku remuk, jantungnya bergetar hebat, sekujur tubuh terasa bergetar hebat.
Darahku seakan-akan terhenti mengalir, nafasku sesak. Mendengar kemarahan Bunda
dan Ayah yang menjadi-jadi. Aku tak tahu, mengapa akhir-akhir ini keduanya
saling bermusuhan. Seingatku sudah tiga hari berturut-turut, ayah dan bunda
bercekcok mulut, menggemparkan seisi rumah. Namun, hanya malam tadi Bunda Ayah
bercekcok mulut, dan melibatkan aku. Bunda meminta bercerai dengan Ayah. Aku
bingung, seketika aku menangis.
“Ratih, kamu ikut Ayah apa Bunda?”, tanya ayah dengan nada yang tak
pernah aku dengar sebelumnya. Baru malam itu, ayah marah besar.
“Tidak Ratih mau ikut Ayah dan Bunda”, Aku yang tak mengerti semua
ini, sungguh pilu, seakan-akan burung-burung malam menertawakanku. Karena aku
tak mampu untuk memilih. Keduanya adalah orang yang ku sayang.
Meskipun aku sudah menolak pertanyaan Ayah, kedua orangtuaku tetap
saja, melanjutka percekcokan mulut itu. Ayah menyalahkan bunda dan bunda
menyalahkan Ayah. Aku baru mengerti ketika Bunda berkata ;” Lihatlah ayahmu
Ratih, sudah tiga hari pulangnya malam-malam, tau-tau ada perempuan yang
menelfon Bunda”, Tanda Bunda dihadapanku, seperti meminta kepastian padaku
“Tidak, aku nggk selingkuh”, seraya menampar Bunda, dan Ayah pergi
keluar. Bunda seketika menangis, dan tak sadarkan diri. Aku yang melihat adegan
ini, hanya mampu berteriak dan menangis. Bibi dan Pak Lek pembantu rumah
tergopoh-gopoh menemui kami di Ruang tamu. Tubuh Bunda segera dipindahkan ke
kamarnya.
Aku tak mengerti apa yang terjadi, Bibi membujukku agar aku tidur,
namun tetap saja aku bersi keras tidak mau tidur , sampai ayah kembali.
Pagi ini, aku tetap menunggu ayah agar kembali.
###
Pagi ini aku tak masuk sekolah, semenjak kejadian itu, tubuhku
menggigil, entah apa penyebabnya. Padahal aku tetap makan teratur dan tak lupa
minum obat. Namun, setelah kejadian itu, rasanya jiwaku sudah hilang, raib
bersama ayahku entah kemana. Sedangkan Bunda sudah sehat, bugar, meskipun jarang
bicara.
#
Malam ini aku tak sadarkan diri, seisi rumah mengkhawatirkanku,
Bunda yang melihat aku tak sadarkan diri, menangis dan seraya berusaha menahan
tangisnya itu. Orang-orang terdekatku semua hadir untuk menengok kondisiku.
Suara ayat-ayat suci al-Qur’an terus dilantunkan tanpa henti. “Anak ibu,
kondisinya masih belum sadar, sepertinya dia lelah, ibu yang sabar dulu” jelas
dokter.
Namun, hari berganti hari, kondisiku tetap sama. Bunda terpaksa
menghubungi Ayah. Ayah mendengar hal
ini, tergopoh-gopoh menengok keadaanku. Ayah menagis melihat keadaanku, yang
terlihat kuyu, kusut, kering kerontonh. Entah berapa lama aku tertidur di dalam
alam bawah sadar.
“Nak, sadarlah, sungguh ayah tak akan mengulangi ini lagi, tapi
Ratih harus sadar”, tak terasa air mata ayah jatuh di pipiku. Ayah mencium
keningku.
Diriku mendengar seseorang memanggilku, aku kenal suara itu, aku
ingi bertemu dengannya. Sedikit—sedikit aku mencoba membuka mataku, semua
terlihat aneh. Semua memandangku,
Seiisi ruangan menangis, ayah memelukku dengan menangis, “Maafkan
ayah nak, ayah janji tak akan pergi lagi meninggalkan Ratih dan Bunda”,
“Benarkah, apakah ayah tak marah lagi dengan Bunda”, ku pegang
tangan bunda dan ayah kemudia aku satukan tangan keduanya.
“Ayah sama Bunda, nggk boleh tengkar lagi, nanti Ratih sakit”
“Insyaallah Nak, maafkan Bunda”, keduanya menciumiku.
Aku mengerti, mengapa Tuhan membuatku tak sadarkan diri, tujuannya
adalah agar Ayah dan Bunda kembali seperti dulu lagi.
Tamat
0 Comments