Gelar Wicara Bulan Bahasa Bersama Ahmad Rifa'i Rif'an

Ilustrasi: (foto: flp Surabaya) 


duniahalimah.com--Seminggu telah berlalu, tetapi jejaknya masih tersimpan di memori kepala. Tepat hari Minggu, 30 Oktober 2022 berkesempatan memandu gelar wicara bulan bahasa dan sastra 2022 yang diadakan FLP Surabaya. Tema yang diangkat adalah "Kaya bahasamu, luas pikiranmu, bangkitkan hidupmu" bersama Ahmad Rifa'i Rif'an. Seorang penulis buku bestseller "Maaf, Tuhan aku sedang sibuk" dan telah menerbitkan lebih dari 140 buku. 

Ketika diminta untuk menjadi moderator, pertama kali gestur yang muncul ialah tersenyum. Lalu teringat tahun-tahun lalu saat menjadi mahasiswa. Kala itu saya mengikuti talkshow IQMA yang diisi oleh Ahmad Rifa'i Rif'an. Kalimat yang  paling diingat dan senantiasa menginspirasi hingga detik ini adalah "Hidup sekali harus berarti lalu mati." Belakangan barulah saya tahu bahwa kalimat itu menjadi judulsalah satu bukunya.

Kisah itulah yang sempat saya utarakan untuk memulai gelar wicara. Acaranya berjalan sangat lancar, meski--sebagai moderator--tak rela untuk menyudahinya. Apalagi saat mendengar bagaimana perjuangan kak Rifa'i merintis karir di dunia menulis.

Karir menulisnya dimulai dari blog ketika duduk di bangku kuliah di Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Apa pun ia tulis, termasuk catatan saat kajian. Selang beberapa waktu, salah satu tulisannya yang berisikan doa lulus ujian diminati oleh seseorang. 

Mulanya penulis lebih dari 140 buku ini mendapatkan tawaran untuk menerbitkan tulisannya itu dalam bentuk buku. Namun, karena kesibukannya dalam kuliah menjadikan ia tidak mengiyakan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu berinisiatif menerbitkan dan mempromosikan sendiri. 

"Covernya didesain dari Microsoft Word," tutur Ahmad Rifa'i Rif'an. Meski diterbitkan secara mandiri, buku ini dinilai laku besar. Bahkan ribuan cetak habis, karena waktu itu menurutnya momen pas untuk ujian nasional. 

Bukunya berjudul "9 Rahasia Doa Lulus Ujian." Keberhasilan bukunya sampai membawa negeri seberang menerjemahkannya dalam bahasa melayu dan ternyata laku keras. 

Berawal dari sanalah perjalanan menulis buku dimulai. 

Seorang peserta sempat bertanya tentang bagaimana seorang Rifa'i Rif'an menemukan passion. Orang yang ditanya menjawab berdasarkan kisahnya. Selepas lulus kuliah ia sempat bekerja di pabrik sekitaran Rungkut. Sayangnya seringkali izin tidak bisa masuk karena harus mengisi diskusi atau bedah bukunya. Akhirnya ia berpikir alangkah baiknya jika fokus dengan dunia menulis dan memutuskan untuk mengundurkan diri. 

***

Menurutnya peringatan bahasa dan sastra perlu dijadikan sebagai semangat dakwah melalui tulisan. Dengan bahasa kita bisa melihat kualitas seseorang. Memang hari ini tingkat literasi masih sangat minim di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan kerjasama antar kini seperti pemerintah. 

Persoalan sekarang banyak bacaan yang kurang berkualitas atau katakanlah teenlit yang umumnya tersedia di aplikasi di gawai. Menurutnya tidak masalah, bisa anak muda memulai membangun kebiasaan membaca dari sesuatu yang receh. Baru bertahap untuk kualitas bacaannya. 

Tema gelar wicara saling berkaitan "Kaya bahasamu, luas pikiranmu, dan bangkitkan hidupmu." Seseorang akan kaya bahasanya dengan cara membaca dan mendebatkannya. Orang akan luas pikirannya ketika membaca dan menuliskannya. Terakhir, akan membangkitkan hidup seseorang dengan membaca. Artinya untuk meraih tiga hal tersebut dengan membaca dan menulis. 

Rifa'i Rif'an mengaku bahwa apa yang ia tulis kerapkali muncul karena inspirasi dari sekitar. Seperti buku bestseller "Tuhan, maaf aku sedang sibuk" terinspirasi dari pengamen cilik yang melantunkan lagu "Gema Azan." Satu fakta lain yang ia sebutkan adalah tentang gaya menulisnya yang menulis beragam tema. Baru suatu hari ia akan mengumpulkan tulisan yang berserakan itu menjadi satu sesuai dengan temanya. Menurutnya dengan cara ini, menjadi tidak terbebani dengan menulis.

Rifa'i Rif'an juga sempat mengutip perkataan gurunya tentang jadilah manusia wajib. Di mana keberadaan kita sangat dibutuhkan. 

Saya sebagai moderator melihat, peserta lebih antusias mengulik dunia kepenulisan dibanding berbicara perihal peringatan bahasa dan sastra itu sendiri.  Tanpa terasa waktu gelar wicara sudah habis dan dilanjut ke acara penutupan. Di sesi terakhir peserta, panitia, dan narasumber berfoto bersama.


Post a Comment

0 Comments