Katanya Sehat Itu Mahal

Foto dari kiri, Ayah, Saya, dan Paklek


duniahalimah.comBetapa banyak hal yang bisa disyukuri di dunia ini. Mampu bangun setelah tidur, bernafas, makan, maupun beraktivitas. Orang-orang di sekitar kita pun hadirnya perlu kita syukuri yang telah membentuk kepribadian kita hingga saat ini. Tidak heran jika di dalam Alqur’an seringkali diperintahkan untuk bersyukur.

Bersyukur bukan hanya pada sesuatu yang materi saja, akan tetapi bentuk tidak ternilai juga tidak boleh dilewatkan. Seperti nikmat sehat lahir dan batin. Hingga detik ini, sehat adalah kekayaan terbesar. Coba pikirkan, si A adalah orang kaya raya, apa pun bisa ia dapatkan, namun akibat dari kelalaiannya menjaga kesehatan jadinya ia sakit dan bolak balik berobat. Sedangkan si B adalah orang biasa, makanannya seadanya, karena dia berpikir makanan sederhana asalkan sehat itu jauh lebih penting. Akibat dari kebiasaan itulah, si B tidak pernah sakit. Kira-kira jika kamu berada di posisi keduanya, mau pilih yang mana?


Pastinya kamu akan menjawab, kaya sekaligus sehat. Sayangnya hanya ada dua kisah. Si A memang kaya, namun karena kebiasannya makan makanan yang kurang sehat akhirnya berimbas pada tubuhnya. Berkali-kali ke rumah sakit, menguras kekayaannya. Disamping itu, ia juga dilarang memakan makanan enak. Disitulah ia tersiksa atas kekayaannya. Sedangkan si B, karena sudah menerapkan makan makanan sehat, jadi tidak pernah sakit, serta hidupnya menjadi tentram.



Realita di masyarakat kita, fenomena keduanya banyak sekali. Karena bisa membeli apapun yang diinginkan hingga lupa akan kesehatan. Olahraga jarang, malah mengonsumsi makanan yang berpotensi mengakibatkan sakit lebih dominan.  Membahas soal ini jadi teringat dengan sembilan saudara kandung ayah saya. Saudara pertama ayah, kurang lebih berumur sembilan puluhan. Fisiknya masih kuat, pergi ke ladang masih sangat bisa, bahkan cari rumput untuk ternak di kandangnya. Penglihatannya pun masih sehat dan mampu mengayuh ontel. Hanya saja pendengarannya kurang baik. Ketika saya tanyakan mengenai soal ini, ayah angkat bicara, jika kakak tertuanya itu sedari kecil tidak pernah memakan makanan yang berpotensi menjadi penyakit. Selain itu, kerja keras menjadi andalan memacu kesehatan dalam setiap harinya.


Konon kakek saya dahulu meminta nenek agar memberikan jamu yang terbuat dari tumbuhan untuk anak-anaknya. Katanya jamu itu dapat menjadikan tubuh semakin sehat dan penambah nafsu makan.  Di antara sembilan dan ayah saya ke sepuluh bersaudara, belum ada satu pun yang terserang penyakit-penyakit tinggi seperti kolesterol, darah tinggi, dan sebangsanya. Saya pikir inilah hebatnya orang dahulu, menjaga kesehatannya. Dahulu kata ayah untuk makan pun perlu gepruk[1] berasnya ke lesung, karena pada masa itu belum ada mesin selep padi dan jagung. Jika tidak begitu, nasi singkong. Sayurannya diambilkan dari hasil tanaman depan rumah seperti daun kelor dan bayam. Makan ikan sangat jarang, karena jarak pasar yang jauh, dan tidak seperti saat ini ada wlijo[2] yang menjual kebutuhan pangan sampai ke rumah penduduk.


Kebiasan-kebiasaan sehat dan sederhana yang dibangun sedari kecil itu mengakar hingga saat ini. Efek yang ditimbulkannya pun sangat menguntungkan. Jika dibandingkan dengan orang lainnya beragam penyakit bersarang dalam tubuhnya. Ketika ditanya bagaimana dengan kebiasaan makan saat mudanya, ternyata makanan yang dikonsumsi cenderung “yang enak-enak” saja.


Sehat benar-benar mahal, apalagi di tengah pandemi seperti saat ini. Meski kita semua tahu bahwa semua manusia akan mati, bukan berarti kita abai pada kesehatan kita. Hidup sakit-sakitan tidak enak. Enakan hidup selalu sehat.


Semoga bermanfaat.



[1] Menghancurkan sesuatu atau bahasa orang Tapal Kuda notoh (bahasa Madura)

[2] Pedagang sayuran yang menjajakan dagangannya ke rumah-rumah

Post a Comment

0 Comments