KEARIFAN BUDAYA LOKAL DI TENGAH KENYATAAN KESUSASTRAAN INDONESIA

Sumber Gambar: pixabay.com

Mestinya, banyak budaya lokal di negeri ini dapat dengan mudah kita jadikan sebagai ladang inspirasi untuk menghasilkan berbagai karya sastra, baik puisi ataupun prosa. Karena sangat tidak etis jika masih mencari-cari alasan bagi bangsa yang dianugerahi kekayaan budaya melimpah untuk tidak dituliskannya. Apalagi pilihan tema-tema lokalitas banyak menawarkan keuntungan, di antaranya, selain membuka peluang memperkenalkan kepada khalayak perihal keunikan budaya suatu daerah, besar kemungkinan karya-karya yang kita tuliskan akan menemukan kekhasannya tersendiri.


Walaupun tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa telah banyak sastrawan yang mengangkat tema-tema lokal seperti halnya, Darman Moenir, Wisran Hadi, Chairul Harun, Upita Agustin, A.A. Navis (Minang), Bokor Hutasuhut (Batak), Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, B.M. Syam (Melayu), Ramadhan K.H. (Sunda), Danarto, Ahmad Tohari, Darmanto Jatman, Linus Suryadi A.G. (Jawa), Korrie Layun Rampan (Dayak), D. Zawawi Imron (Madura), Nyoman Rastha Sindu (Bali), Gerson Poyk (Timor), Hijaz Yamani, Ajamudin Tifani (Banjar), dan lain-lain. Mereka merupakan orang-orang yang gigih mengelaborasi tradisi lokal ke dalam karya-karyanya. Sehingga mendapat perhatian khusus dari pembaca dan penikmat sastra.

Tapi, bukan berarti tidak ada sastrawan yang mengagkat tema perkotaan. Telah banyak juga yang mengangkatnya, bahkan melebihi dari budaya lokal. Di antara sastrawan yang gigih membawa budaya perkotaan di setiap karyanya ialah, Budi Dharma, Djenar Maesa Ayu, Dewi Lestari, Ayu Utami, Eka Kurniawan, AS. Laksana, Triyanto Triwikromo—yang notabene mereka memang menetap di wilayah perkotaan. Dari sinilah harusnya kita belajar, jika keakraban mereka dengan lingkungan urban mampu di eksplorasi dengan baik ke dalam bentuk karya sastra, kenapa kemudian kita yang begitu bersahabat dengan alam, dengan tradisi-tradisi lokal tidak juga memotret keseharian yang berlangsung di sekitar kita?

Penulis yang berhasil adalah penulis yang bisa mengangkat tema atau budaya di sekitarnya. Perbandingan di sini bukan hendak mempersoalkan perkara nilai, baik-buruk, melainkan untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai lokalitas dalam karya sastra bukan hanya urusan pusat-mainstream, melainkan juga menemukan ladang yang subur di wilayah-wilayah kultur pinggiran. Berpengaruh atau tidak budaya lokal? Memang bisa dikatakan budaya lokal begitu berpengaruh terhadap kesusastraan Indonesia. Buktinya, penulis-penulis yang tidak dikenal oleh masyarakat (dalam dunia kesusastraan) dengan mengangkat tema lokal secara apik (sempurna), lalu dikenal di dunia kesusastraan. Sehingga ketika orang membaca karyanya akan merasakan keestetikan dan esensi budayanya itu sendiri. Hal ini, selaras dengan perkataan kritikus sastra Melani Budianta, bahwa keberagaman budaya lokal itu akan menjadi kekayaan estetis yang menarik bila pengarang Indonesia saat ini mampu mengolah kultur dan subkultur itu dalam karyanya.

Mengintegrasikan dengan Nilai-nilai Pesantren

Perkembangan kesusastraan terus menghasilkan corak yang berbeda-beda pada setiap karya sastra. Di antara hal tersebut, kita ketahui pula sastrawan-sastrawan itu tumbuh dan berkembang dari dunia pesantren. Seperti halnya D. Zawawi Imran, M. Faizi, K. Musthafa Bisri, Abdul Hadi W.M—untuk menyebut nama beberapa nama. Mereka telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah kesusastraan Indonesia lewat karya-karya mereka yang banyak mengintegrasikan nilai-nilai lokalitas dengan nilai-nilia kepesantrenan. Sehingga mereka menjadi lebih mudah dikenal oleh khalayak umum (dunia kesusastraan).

Dalam sejarah Arab sastra sudah muncul sejak masa jahiliah, jauh sebelum datangnya Islam. Ketika itu juru bicara kabilah adalah seorang penyair dan penyair ini memiliki peranan penting untuk menentukan penghargaan dan penghormatan dari kabilah lain.[1] Situasi itu kemudian banyak memberika pengaruh terhadap tumbuh-kembangnya Islam. Sekaligus menjadi alasan mengapa ayat-ayat Alquran diturunkan dengan bahasa yang penuh dengan nilai-nilia sastranya. Maka, kita sebagai orang pesantren; orang yang memegang teguh ajaran serta tradisi Islam, selayaknya menumbuhkan dan memelihara kesadaran, bahwa prinsip-prinsip Islam tidaklah terpisah sama sekali dengan nilai-nilai kesusastraan.

Dengan demikian, sangatlah relevan bagi kita mengawinkan semangat ke-lokalitas-an dengan prinsip-prinsip  ke-islam-an di dalam karya sastra. Sebab kehadiran Islam tidaklah melahirkan garis demarkasi dengan tradisi-tradisi lokal. Melainkan, Islam lebur ke dalam tiap sisi kehidupan manusia, lebur dengan setiap kearifan lokal di mana Islam tumbuh dan berkembang. Sebagaimana semangat macam ini telah lama dicontohkan oleh Wali Songo ketika menyebarkan Islam di Nusantara.

 

 

 


[1] Kutipan dari film Santri Mendaras Puisi 2016


*)Aziz As syah, Calon Sarjana Tasawuf & Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin   Instika Guluk-Guluk Sumenep

Post a Comment

0 Comments