RITUAL MALAM

Sumber: www.mir.com.my

    Suara hening di tengah-tengah keramaian membawamu semakin meradang. Mungkin ini yang dinamakan “Sepi di dalam keramaian”. Seakan-akan semua itu dalam kekosongan. Kosong melompong tak ada yang ramai. Kuperhatikan wajahmu dari kejauhan sepertinya menyimpan rahasia yang tak biasa. Terlampau biasa, hingga tak mampu dikenali oleh mata.

Bermenit-menit, berjam-jam kauterdiam tak bergerak di kursi tempat kaududuk. Seperti ada yang bersarang dalam benakmu, sampai-sampai aku melintas di depanmu kau tak sadari itu. Pandanganmu lurus ke depan seakan-akan kau melihat sesuatu di balik ujung sana, padahal di sana tak ada siapa-siapa.

              Kejadian ini seringkali aku temui, kau lduduk termenung menatap ke depan, bahkan tak berkedip sedikit pun. Tak jarang pula kau tidur larut malam, bahkan ketika fajar menyingsing barulah tidur.
               Dalam tatapanmu yang kosong itu, kau tak henti-hentinya komat-kamit sembari bersila. Pernah suatu malam, aku merasa sulit tidur, kala itu aku putuskan untuk keluar rumah berjalan-jalan di pelataran rumah. Di tengah malam itu aku menemukanmu sedang duduk bersila di depan rumah, beralaskan koran bekas saja. Matamu semakin sayu tak seperti sebelum-sebelumnya. Di kala matahari terbit, matamu memerah karena efek kurang tidur.

             Warga sekitar pada akhirnya tahu akan kelakuanmu ketika malam tiba. Mereka sama-sama menggunjingmu, terutama kaum ibu yang mudah menggosipkan hal-hal yang baru. Seperti yang aku temui waktu itu, salah satu Ibu mengatakan “Ah, denger ya, si Puti itu udah punya ilmu hitam loh, kita harus hati-hati,” ungkapnya ketus.

             Mengapa kaulakukan itu, padahal dulu kau sangat agamis, alumni pesantren pula. Tercatat semenjak bapakmu meninggal, kaumulai berubah. Bahkan kau tak lagi terlihat di muka masjid dekat rumah ini. Tercatat pula semenjak kaulakukan ritual itu, banyak warga yang meninggal dalam setiap harinya secara tidak wajar. Ada yang mati karena kembung perutnya, panas kulitnya, dan lain sebagainya. Dan ini membikin semua warga resah, mereka bahkan beranggapan bahwa kau adalah pelakunya. Mengingat kau memiliki aliran darah seperti itu, tak menutup kemungkinan kau mendapatkan warisan aliran itu. Jika saja tak diamalkan, maka dirimu yang akan menjadi tumbal.

             Seperti malam ini aku melihatmu melakukan rutinitas ritual seperti biasanya, namun kali ini berbeda, kau membawa kemenyan dan bara api dalam wadah. Lalu bara yang kau bawa kau taburi dengan kemenyan. Aku duduk saja di balik kamarku melihat dari kejauhan. Rumahmu tepat berada di sebelah rumahku dan semenjak kecil kita selalu bermain bersama. Kau adalah temanku yang sangat periang dan aku sangat senang bermain denganmu waktu kecil dulu. Namun, sifat periangmu mulai menghilang semenjak kau ditinggal Bapakmu itu. Untuk bisa menyapamu saja itu sangat sulit bagiku.
Ritual itu kian lanjut, seperti malam-malam pertama kali kumenemukan kau lakukan itu. Duduk bersila, lisan komat-kamit tak henti-hentinya, sembari menatap ke depan jauh tak terbatas. Hingga fajar menyingsing, kau tetap duduk seperti itu.

             Paginya kejadian sebelum-sebelumnya terjadi lagi dan sangat tak masuk akal kejadian ini. Para warga sama-sama mendatangi rumahmu, pintu-pintu rumah terbuka semua seisi rumah keluar rumah pagi ini, berbondong menuju rumahmu. Ibu-ibu, bapak-bapak, dan bahkan anak kecil ikut serta ke rumahmu dipimpin Pak RT. Tak ubahnya demo 212 di Jakarta, sekitar rumah ribut. Kaumalah tak keluar rumah, hingga akhirnya mereka memaksa masuk ke dalam rumah.
Kau keluar dengan wajah sayu, lalu kau menjawab 
“Ngapain kalian pagi-pagi ke sini, gak ada kerjaan ya,” sembari membanting pintu. Para pendemo bubar tak jelas.

Post a Comment

0 Comments