Ingatan Anak Rantau Saat Ramadan

 

Ilustrasi: (Foto:Internet)

“Ternyata merantau memiliki kisah manis, ketika diingat kembali”

duniahalimah.comSebuah komentar yang saya tulis di sebuah postingan akun instagram milik seorang penulis dua hari lalu. Dalam postingannya itu ia menceritakan tentang kisah merantaunya yang tinggal di dalam kontrakan dan menempati kamar kecil, berukuran 2x1,5 m. Melihat postingan itu, saya merasa lebih beruntung, meski beberapa kali pindah tempat tidur. Mulai dari kasur empuk, kos bernyamuk, tidur di lantai, hingga terakhir kasur di bawah.


Jika dihitung, sekitar empat kali pindah tempat. Banyak penyebab yang menimbulkan kepindahan, mulai dari tidak krasan dengan tempat, orang lain, hingga keuangan. Namun jika diingat kembali ternyata memang ada kesan tersendiri.


Setelah lulus dari srata 1, memilih melanjutkan kuliah. Namun sebelum kuliah S2--karena kebetulan lulus di semester tujuh--saya sempat menganggur selama satu semester (6 bulan). Selama itu saya tinggal di klinik milik salah satu dosen. Bahkan bisa disebut hingga hari ini. Akan tetapi karena keadaan masih Covid dan kuliah digelar secara online, terpaksa pulang ke rumah.


Beberapa hari ini sebetulnya saya mengingat tentang setiap kejadian di bulan Ramadan. Sekitar tujuh tahun terakhir, awal puasa Ramadan selalu di rantau, tiga tahun di pesantren, empat tahun di Surabaya. Tujuh tahun bukanlah angka sedikit, mestinya soal puasa di tanah orang adalah sesuatu yang biasa. Jauh dari keluarga dan tidak dapat sahur maupun berbuka bersama keluarga.


Namun, paling merasa jauh dari keluarga adalah saat Covid tahun kemarin. Bagaimana keadaan  memaksa untuk tidak pulang, berada di klinik. Tidak keluar, kecuali  pergi ke  masjid, tempat cuci mobil, kebetulan waktu itu sambil jaga pencucian mobil, atau membeli makanan untuk sahur dan berbuka. Jika ditanya apakah kesepian? Ya, pasti kesepian, tempat selebar klinik hanya ditempati seorang.


Mengingat itu semua, saya  merasa berada di rantau  tidak seenak di rumah sendiri. Akan tetapi dari sana pula juga membentuk kepribadian diri hingga detik ini. Kejadian demi kejadian menjadi kenangan dan mesti memberikan pembelajaran yang tidak sedikit.


Baca Juga: Ternyata Puasa Bisa Dijadikan Terapi


Apalagi jika memperbincangkan suasana Ramadan di tiap-tiap tempat yang berbeda. Seperti di masa pesantren. Momen yang paling diingat pertama kali, saat menjemput piring berisikan nasi di dapur umum pesantren. Betapa ramainya keadaan di dapur, bahkan tidak jarang piring yang dikumpulkan tidak ditemukan. Alhasil membeli nasi salah satu alternatif atau memilih tidak sahur. Saat berbuka tiba pun memberikan kesan tidak biasa hingga detik ini, bagaimana kami—santriwati—membuat kelompok makan untuk berbuka. Membentangkan plastik kresek, sukur-sukur jika ada kertas minyak atau daun. Namun itu semua tidak menjadikan selera makan terhenti sama sekali.


Kisah Ramadan di pesantren tentu kontras sekali ketika dialami semasa di bangku kuliah. Tidak ada lagi makan bersama beralaskan kresek. Adanya kertas minyak dengan teman sekamar dan lebih banyak makan dengan menggunakan piring masing-masing. Apalagi untuk tahun kemarin, jika ada teman-teman yang berkunjung, berbuka bisa digelar bersama.  Tetapi ketika sendirian, ya sepi.


Setiap ramadan yang telah berlalu selama di rantau memberikan gambaran luar biasa. Dan dalam tulisan kali ini saya tidak dapat memperbincangkan keseluruhan, karena terlalu banyak kisah yang hanya bisa dinikmati oleh orang yang mengalaminya.


Post a Comment

0 Comments