Review Soal Ideologi

Ilustrasi (foto: internet)
duniahalimah.com -- Rabu, 17 Maret 2021 -- Ideologi begitu seksi untuk dijadikan bahan pembahasan. Apalagi di semester ini terdapat mata kuliah Ideologi dan Institusi Islam dan kemarin adalah jadwal temunya. Bila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan, ideologi disebut sebagai hasil produk tranformasi atas nomina dibaliknya. Seperti harta, tahta, wanita, ijazah, bahkan tuhan. Itu semua berpotensi menjadikan manusia kokoh dengan apa yang diyakininya.


Memperbincangkan ideologi, Indonesia adalah salah satu contoh negara yang menjadi ladang merebaknya. Muncul pula bigot-bigot, tidak lain sebagai sebuah kewajaran dalam setiap tubuh individu. Dibekali instrumen layyinah (Lembut) dan syiddah (keras). Di mana menurut Prof. Hussein Aziz, dua instrumen ini bisa diperhatikan seksama pada orang-orang terdahulu. Seperti nabi Nuh yang memiliki sifat keras dan nabi Ibrahim cenderung sabar.  Selain dua nabi ini, sahabat Abu Bakar  memilik sikap seperti nabi Ibrahim dan Umar mirip nabi Nuh. Terbukti pada perang Badar, Umar memberikan saran agar membunuh lawan, tetapi berbeda dengan Abu Bakar yang menyarankan Rasulullah agar memaafkan saja.


Beralih pada diri Rasulullah, juga memiliki sifat layyinah sekaligus Syiddah. Masa memerintah di Mekkah beliau menerapkan layyinah, selalu sabar, meski nyawa sahabatnya hilang. Berbeda ketika di Madinah, beliau sudah menampakkan syiddah. Selama di kota ini Rasulullah telah berperang sebanyak tujuh belas kali dalam 10 tahun. Artinya dalam setahun ada dua kali peperangan.


Disamping itu, manusia memilih beberapa kebutuhan; seperti kebutuhan makan dan minum; kebutuhan kekerasan; dan kebutuhan ilahiah. Adanya kebutuhan ini saling melengkapi, adanya kebutuhan kekerasan untuk melindungi, begitu sebaliknya. Namun menjadi problem tersendiri ketika itu semua berlebihan dan tidak dapat dikendalikan. Tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, sehingga menjadikan apa yang dilakukan merugikan dirinya bahkan orang lain.


Penyebab tidak terkendalinya utamanya disebabkan oleh hasrat, motif, dan ketertarikan.  Hingga menyebabkan seorang individu berbuat sesuatu. Meminjam penyebutan prof Husein karena ada keterlibatan politik atau motif-motif dibaliknya. Sehingga berdampak pada pertukaran baik dan salah. Itulah mengapa dalam mengantisipasi pemahaman sempit seseorang perlu memainkan logika sebelum bertindak.


Berkaitan dengan ideologi, menjadikan seseorang tidak mau menerima apa-apa yang diluar keyakinannya. Sikap inilah seringkali kita temui di sekitaran kita. Mudahnya, bisa kita temukan di media sosial. Bagaimana seseorang memaksakan apa yang diyakini pada orang lain. Meski apa yang dipaksakan adalah bagus. Misal soal islam moderat, memang islam moderat tidak ke kanan atau ke kiri, akan tetapi ketika seseorang memaksakan islam moderat kepada orang yang tidak setuju dengan paham ini. Artinya ia telah menjadikan apa yang semula netral menjadi keberpihakan atau jadi ideologi.


Memandang apa yang diyakini, terkadang menjadikan seseorang begitu emosional dan rela melakukan apa pun demi membelanya. Kejadian inilah yang kerapkali terjadi pada agama. Tidak mengherankan sarjana barat ada yang menyebut agama sebagai sumber masalah. Bagaimana tidak disebut begitu, pertikaian antar pemeluk agama masih terus menerus terjadi. Padahal jika ditelisik secara komprehensif, semua agama mengajarkan kedamaian. Persoalan lainnya, agama di sini dijadikan tunggangan oleh beberapa oknum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam hidupnya. 


Alhasil agama terlihat berpotensi berbenturan. Senyatanya pelaku-pelaku agamalah yang menjadikannya begitu. Disinilah seyogyanya diperlukan manajemen konflik. Sehingga seseorang mampu mempertimbangkan mana yang sesuai dan tidak. Juga butuh akan pertimbangan logika yang matang agar tidak terjerumus pada pemahaman langsung pukul rata. (Nur)



Post a Comment

0 Comments