PESANTREN BIASAKAN SANTRI QIYAMULLAIL

 

Foto Gedung Aula PP. Darul Mukhlashin

Sore ini saya sedang membaca sebuah buku karangan Dr. Amr Khaled, ‘Ibâdât al-Mu’min.[1] Pembahasan awal dalam buku ini adalah tentang salat. Di antaranya tentang salat sebagai bahan bakar dalam diri manusia, salat sunah rawatib, duha, istikharoh, dan qiyamullail. Ketika sampai pada pembahasan qiyamullail, benak saya jadi teringat dengan masa-masa itu. Masa yang telah terlampaui dengan jutaan kenang. Sembari dibangun dengan pelajaran-pelajaran berharga untuk bekal di masa depan.

Di kala seorang hamba meneguk indahnya sepertiga malam, bercumbu dengan nikmatnya zikir, disitulah nikmat yang tidak terkira. Diceritakan dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah melaksanakan salat malam hingga kakinya membengkak. Mereka bertanya dan Beliau pun menjawab “Tidak layakkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”

Dalam Alqur’an surah Al-Isra’ ayat 79, Allah berfirman “Bertahajudlah pada sebagian  malam sebagai ibadah tambahan bagimu. Semoga Tuhanmu mengangkatmu kepada kedudukan yang terpuji.” Serta masih banyak lagi perintah Allah mengenai salat qiyamullail ini. Dan semua itu sejatinya telah dibiasakan di pesantren.

Masih  terngiang-ngiang jelas, di saat alarm di pojok pintu menderu-deru. Membangunkan anak manusia yang tengah bermanja dengan bantal dan hamparan tikar. Seperti pindang!! Itulah kenyataannya. Tiba-tiba petugas ronda masuk ke setiap kamar dan menarik tubuh-tubuh yang tengah terlelap dengan nikmat itu. Tidak jarang petugas ronda perlu bersabar di kala menemukan para santri ketika dibangunkan marah, ada yang bangun kemudian tidur kembali, dan beragam macam ekspresi lainnya.

Itulah kebiasaan seorang santri yang tengah mencari ilmu. Kurang makan, kurang tidur, sekaligus belajar mandiri. Istilahnya adalah tirakat. Saat sepertiga malam tiba, kami semua diwajibkan untuk menanggalkan tidur dengan membasuh wajah. Bagi kami yang sedang haid juga diwajibkan untuk pergi ke dalem[2], untuk berzikir bersama-sama. Empat rakaat dua salam salat tahajud, tiga rakaat dan dua salam salat witir, kemudian dilanjutkan dengan berdoa dan berzikir.

Ibu Nyai biasanya memimpin salat tahajud, lengkap hingga zikirnya. Tidak jarang di antara kami yang kerapkali tertidur saat berzikir, bahkan saat salat. Pada waktu itulah siap-siap mendapatkan panggilan dari mbk-mbk pengurus. “Berdiri,” bagaikan sedang ditampar, kantuk pun lenyap, karena tahu jika berdiri tandanya hari Minggu mendapat hukuman.

Pernah suatu ketika jamaah salat tahajud sangat minim. Selepas salat Ibu Nyai pergi ke kamar-kamar santri putri, dengan menyiramkan air kepada mereka yang tengah lelap. Malam menjadi basah, hingga pagi tidak tidur kembali.

Bisa dibilang pondok kami sangat kental dengan salat tahajudnya, layaknya salat wajib. Pernah Ibu Nyai dawuh[3] “Jika kalian salat tahajud, insyaallah besok harimu akan bahagia.” Ketika mendengar manfaat dari salat tahajud, kami hanya bisa mengiyakan saja. Namun akhir-akhir ini saya pahami bahwa manfaatnya bukan hanya untuk akhirat saja, tapi juga bisa dijadikan sebagai terapi.

Menyoal qiyamullail, benar-benar membuat saya menengok ulang ke jendela masa lalu. Betapa ingin mengulang kembali masa itu, namun semua mustahil untuk dikembalikan. Tinggal bagaimana kita  masih menjaga kebiasaan salat qiyamullail di pesantren dulu. Sungguh beruntung teman-teman yang masih di pesantren, karena ada yang mengingatkan untuk bangun di sepertiga malam. Sesungguhnya tidak semua orang mampu istikamah melaksanakannya.



[1] Seorang cendekiawan muslim yang lahir di Mesir pada tahun 1967. Buku ini dalam bahasa Indonesia berjudulnya Nikmati Ibadahmu: Cara Menghayati Shalat, Doa, Zikir, dan Baca Al-Quran. Diterbitkan oleh penerbit Zaman pada tahun 2011.

[2] Sebutan untuk rumah pengasuh pondok

[3] Memberi nasihat

Post a Comment

0 Comments