TRADISI KAMPUNG, JANGAN DILUPAKAN

Sumber: assets.kompas.com

Sudah menjadi suatu kebiasaan di kampungku jika hari raya akan tiba musti tradisi berbagi makanan dengan tetangga dilakukan. Dari tahun ke tahun selalu dilakukan, konon kebiasaan ini sudah dilakukan semenjak nenek moyang dulu, begitulah katanya. Bahkan kebiasaan berbagi ini bukan hanya terjadi di bulan Ramadan atau hari raya saja tapi di bulan-bulan lainnya juga dilakukan.
Tradisi berbagi kepada sesama di dalam agama Islam—masyarakat kampungku mayoritas beragama Islam—adalah sebuah anjuran. Namun berbagi yang dilakukan dalam kampungku diejawantahkan dalam bentuk beragam. Jika penulis mencoba memaknainya, berbagi dibalut dengan budaya. Semisal jika di bulan Sura terdapat tradisi membuat jenang putih (bubur putih) yang biasanya dicampur dengan santan kelapa, kemudian di bulan safar membuat jenang sapar, di bulan Maulid ada maulidan, kemudian di bulan rasul membuat rasulan—biasanya membuat nasi dengan berbagai macam lauk, lalu didoakan, kemudian di antarkan ke tetangga dan sanak keluarga terdekat, dan seterusnya.
Begitupula dengan bulan Ramadan, sebelum hari raya idul fitri datang, masyarakat di kampungku membuat semacam selametan kemudian didoakan lalu dibagikan kepada tetangga terdekat. Selametannya berupa nasi putih dengan lauk ikan ayam atau telur beserta sayuran. Lalu ketika hari raya sudah datang biasanya ada istilah lontongan, para warga di kampungku biasanya membuat lontong atau ketupat dengan beserta ikan dan sayuran lalu didoakan kemudian dibagikan layaknya dengan tradisi yang lain.
Di sini penulis sendiri sempat berpikir, meski di dalam Islam sendiri tidak pernah diajarkan--memang tidak ada--mengenai tradisi seperti lontongan, selametan, muludan, jenang putih, dan seterusnya itu, tapi nilai di balik itu “berbagi kepada sesama” merupakan nilai yang bagus dan tentu sejalan dengan anjuran Islam tentang “Berbagi kepada sesama”.
Konon katanya tradisi seperti jenang, selametan. Itu merupakan tradisi Hindu, Budha, zaman dahulu--mengingat Islam datang setelah agama besar itu—(baca: sejarah Islam Nusantara) mau tidak mau budaya lama masih melekat dalam kehidupan masyarakat. Meski tradisi ini sudah ada semenjak zaman dahulu, namun tradisi ini dimasuki dengan ajaran-ajaran Islam seperti dimasuki doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah dan seterusnya itu.
Tradisi ini pernulis kira perlu terus dikembangkan oleh kaum muda. Mungkin tradisi ini tidak akan kita temui di negara-negara lainnya, hanya di Indonesia saja. Sungguh sangat disayangkan, jika tradisi ini lumpuh dan tidak ada yang mengembangkannya. Alangkah baiknya jika sosok pemuda (yang katanya tubuh masih kuat)  mempelajarinya.
Berbanggalah wahai pemuda yang dilahirkan di tanah Indonesia ini. Penuh dengan keragaman budaya, etnis, bahasa, dan seterusnya. Bangga bukan hanya sekadar melihat dan tidak mengembangkannya, namun dengan kesadaran dan rasa pengabdian untuk bangsa ikut pula mengembangkannya.

Jika bukan pemuda yang mengembangkannya? Lalu siapa lagi ya??? Nah, itulah pertanyaan terbesarnya. 

Post a Comment

0 Comments