Sumber: my.thansiang.org |
Perdamaian, begitulah kira-kira cita-cita yang ingin dicapai oleh
semua negara di dunia. Damai tanpa adanya gejolak sedikit pun merupakan harapan
yang selalu diimpikan. Namun pada kenyataanya negara-negara di dunia tidaklah
sesuai dengan apa yang diimpikan. Perang di mana-mana, saling menjustis, saling
mengklaim, saling sikut, dan seterusnya yang membuat ketakutan-ketakutan bagi
masyarakatnya.
Siapa yang tak menginginkan kedamaian, ketentraman, tanpa ada yang
bertikai dan berkecamuk. Namun, yang terjadi bukan damai tapi ketakutan. Antar
sesama manusia saling menikam, saling menghardik, saling menjatuhkan seperti
makhluk yang berbeda. Saya sempat berpikir bukankah kita adalah saudara? Kita
sama-sama keturunan Adam as, namun kenapa kita tak pernah sadar. Bukankah jika
saudara, kita tak perlu saling menikam dan menjatuhkan tapi saling mengingatkan
dan saling mengasihi satu sama lain. Saling memahami dan saling menyadarkan
Kejadian semacam itu (pertentangan, perang, saling sikut, dst)
bukan hanya terjadi dalam tataran pemahaman agama saja, bahkan telah bertebaran
dalam segala lini kehidupan. Seperti dalam dunia perpolitikan, ekonomi, bahkan
ilmu pengetahuan juga begitu. Saya kira hal ini terjadi karena kurangnya
tingkat toleransi pada sesama. Tentu jika tingkat toleransi setiap individu
tinggi, mungkin angka ketidak damaian sedikit terkurangi.
Syaikh Muhammad Nazim Adil Al-Haqqani An-Naqshabandi QS pernah
menganalogikan perdamaian dengan tanah dan pohon. “Lihatlah taman-taman yang indah ini,
tanahnya adalah sama dan satu dan beratus-ratus macam pohon dan tumbuhan yang
berbeda-beda tumbuh di atasnya. Kita tidak pernah melihat mereka mengeluh akan
posisi tanaman jenis lain yang terlalu dekat.”
Saya sendiri cukup mengamini mengenai analogi yang dicontohkan
Syaikh Nazim ini. Coba kita pikirkan, pernah gak tanah marah meski ditumbuhi
berbagai macam tumbuhan, bangunan, dan bahkan tiang-tiang listrik, benda-benda
pencakar langit. Sekali-kali tidak, tanah tidak pernah marah, bahkan tanah diam
saja tak saling sikut. Mungkin kalau tanah memiliki sikap seperti manusia, saya
kira tanah bisa saja melakukan gempa, tanah retak sehingga menenggalamkan apa
pun yang ada di atasnya. Namun tidak, tanah tidak memiliki sikap seperti itu.
Entah sampai kapan ketidak damaian terus terjadi. Saya sendiri
sempat berpikir, kira-kira jika tidak ada pertentangan, pertikaian, peperangan,
kira-kira hidup di dunia ini indah gak ya? Mungkin adanya seperti itu gunanya
adalah untuk mempercantik kehidupan dunia ini, begitulah kira-kira.
Mungkin jika membasmi habis, tentu rasanya tidak mungkin, kecuali
Allah Swt menghendaki. Namun, Syaikh Nazim sempat menyinggung untuk mencapai
kedamaian ini setidaknya harus dimulai dari bentuk terkecil dari tatanan
masyarakat sendiri yakni dimulai dari diri sendiri, keluarga, barulah pada
masyarakat dan negara.
Saya pikir ada benarnya juga ketika mengatakan bahwa sebaiknya
sikap damai dimulai dari bentuk tatanan yang paling kecil. Karena jika kita
perhatikan ulang masyarakat kita saat ini antar anggota dalam keluarganya
sering bertengkar, meski hidup satu rumah seakan-akan seperti musuh. Nah, lalu bagaimana akan mewujudkan kedamaian
dalam tatanan yang lebih tinggi, lawong bentuk paling kecil (keluarga)
saja belum bisa berdamai.
Mencari jalan damai lebih indah dibandingkan dengan melakukan
pertentangan dan semacamnya. Jika bisa dilakukan secara damai, mengapa harus
dengan kekerasan? Bukankah kekerasan hanya dapat membuat emosi saja. Nah, oleh
karena itu marilah kita mencoba menginstropkesi diri kita terlebih dahulu (muhasabah).
Apakah kita sudah menerapkan sikap perdamaian. Jika belum, mari kita coba kita
terapkan dalam diri kita sendiri baru kita dakwahkan pada orang-orang sekitar
kita.
0 Comments