SEKELUMIT TENTANG SANG MARTIR

Sumber: www.art-arena.co.uk
 Al-Hallaj begitulah nama kondangnya. Nama lengkapnya adalah Al-Husain Ibnu Manshur al-Hallaj. Ia dilahirkan di desa Thour Persia pada tahun 244 H atau dalam tahun masehinya 858 M. Di sini saya tak akan memaparkan persoalan biografi Al-Hallaj  secara mendetail, karena mengenai biografi dan kisah perjalanan Al-Hallaj sudah banyak dibahas di berbagai macam buku, bisa dibaca sendiri.
Seperti yang disebutkan oleh berbagai macam buku bahwa tokoh tiga abad hijriah ini pada akhir hidupnya berakhir dalam keadaan tragis. Ia mati di tiang gantungan. M. Fudoli Zaini (2000) menyebutkan secara ringkas mengenai tragedi kematian Al-Hallaj. Ketika puncak hukuman akan segera terjadi, Al-Hallaj diangkat ke tiang gantungan, dipaku kedua tangan dan kakinya, lalu anggota tubuhnya dipotong, lalu dibakar, dan debunya disebarkan ke seluruh penjuru mata angin. Tragedi pembunuhan Al-Hallaj ini merupakan satu-satunya tragedi pembunuhan yang paling kejam di Baghdad.
Perlu-lah kita ketahui kebenaran ceritanya, sebelum menjustifikasi bahwa Al-Hallaj dibunuh benar-benar karena agama. Saya sendiri sempat berpikir mengenai Al-Hallaj ini, apakah benar Al-Hallaj murni semurni-murninya melanggar syariat agama? Apakah karena Al-Hallaj mabuk sehingga ia sempat mengucapkan “Ana al-Haqq” (akulah kebenaran) yang akhirnya membawa ia ke tiang gantungan? Atau jangan-jangan terdapat faktor lain yang menyebabkan terseretnya ia ke tiang gantungan. Bisa jadi.
Beberapa sumber pernah mengatakan bahwa Al-Hallaj dihukum tidak sepenuhnya karena agama (teologi) namun terdapat faktor lain yang menyebabkan ia terseret ke tiang gantungan. Coba kita flashback pada masa pemerintahan di zaman Al-Hallaj hidup. Pada waktu itu Baghdad merupakan kota tempat munculnya pemikiran yang berbeda-beda dan saling sikut sama lain, ditambah lagi dengan gaya hidup masyarakatnya yang berfoya-foya, ketidakadilan tak diperhatikan, dan tindak penguasa yang kian hari makin muncul sifat buasnya. Dari sinilah Al-Hallaj mulai menselancarkan aksinya untuk berbalik mengkritik para penguasa khususnya.
Al-Hallaj mulai berdakwah. Semakin hari pengikut Al-Hallaj semakin banyak lalum timbullah kecurigaan dari pihak istana maupun para fuqoha’. Berkali-kali Ia masuk penjara dan berkali-kali gerak-geriknya dibatasi. Karena sangking tak mempannya, akhirnya suatu ketika Al-Hallaj dilemparilah dengan tuduhan bahwa ia merupakan pengikut kaum Qaramithah yang suka membuat kekacauan. Ditambah dengan dalih bahwa Al-Hallaj melarang seseorang untuk pergi haji dan sebagainya. Akhirnya sesuatu yang tak diinginkan oleh seluruh pengikut dan sahabat-sahabatnya terjadi. Al-Hallaj divonis dihukum di tiang gantungan atas izin khalifah penguasa pada waktu itu.
Saya sendiri berpikir, jika memang seandainya Al-Hallaj memang benar-benar salah, lalu mengapa cara penghukuman yang diterima Al-Hallaj begitu tragis, miris, dan bahkan sangat biadab itu. Seharusnya jika memang hukuman gantung maka tidak perlu dibunuh dengan cara memotong tubuhnya. Saya tak habis pikir, apakah karena Al-Hallaj mengucapkan ucapan syukr berupa “Ana al-Haqq” Al-Hallaj telah divonis sosok yang kafir, padahal ia sedang mabuk. Tapi tidak dengan yang dilakukan oleh Abu Yazid al-Bisthami ketika kata-kata jadzab terucapkan dari mulutnya tidak membuat ia terseret ke tiang gantungan. Aneh, bukan.
Saya pernah mendengar suatu ketika salah satu sufi pernah mengatakan bahwa Al-Hallaj tak mampu memendam rasa yang dialaminya sehingga rasa itu meluber seperti gelas yang diisi air berlebihan akhirnya meluber. Luberan inilah yang mengakibatnya Al-Hallaj mengucapkan kata-kata jadzab. Lalu apakah Al-Hallaj terus-terusan jadzab? Tidak, dosen saya pernah mengatakan jadzab itu terjadi tidak lama (kurang lebih begitu redaksinya).
Diperkuat dengan ungkapa Al-Ghazali dalam karyanya misykat al-Anwar sebagaimana yang diunngkapkan oleh M. Fudloli Zaini “Ucapan-ucapan para kasmaran dalam keadaan mabuk itu hendaknya dilipat saja dan jangan dikisahkan” bagi Al-Ghazali yang dialami Al-Hallaj adalah sosok manusia yang sedang mabuk cinta dan keadaan trance.

Inilah beberapa ejawantahan yang ada dalam benak saya akibat ilham buku karya Fudoli Zaini. Saya kira pembahasan mengenai Al-Hallaj ini begitu panjang dan saya rasa tidak cukup jika dibahas di sini. Barangkali dilain kesempatan kita dapat mendiskusikannya kembali.

Post a Comment

0 Comments