AKIBAT MENCELA

Sumber: imageantaranews.com

Dengan degup jantung sosok wanita pengidap (penyakit takut maju), Ucil terus menatap keluar jendela dari lantai dua ruang belajarnya. Gugup yang dideritanya sejak tiga bulan yang lalu. Ia sebelumnya tak pernah membayangkan bahwa di usia remajanya ia akan terganggu seperti ini.
“Kakak tidak boleh terus menerus gugup seperti ini. Apa pun yang dihadapi ini sudah berdasarkan kehendak takdir sang Mahakuasa,” ujar Bundanya Paintem
Ucil tampaknya tidak mendengar kata-kata Bundanya itu. Atau pura-pura tidak mendengarnya. Ia terus menatap ke luar jendela. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang, yang entah kapan munculnya.
“Dia tidaklah seperti yang Kakak katakan. Allah adalah pengatur dari segalanya. Meskipun hal itu tidak terlihat baik untuk kita, namun pasti di balik itu semua ada hikmahnya. Percayalah, Kak,” Bundanya melanjutkan.
Ucil mengalihkan tatapannya ke wajah Bundanya. Namun, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia tak yakin, ia akan bisa melewati masa-masa yang sulit, yang selama ini tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semenjak kejadian sebelum sakit itu menyerang, Ucil pernah melakukan kesalahan yang sangat besar. Ucil dianggap satu-satunya remaja yang berani mengejek  nenek tua peminta dekat rumahnya.
Karena anaknya tidak mengindahkan sarannya, Bunda Pantimen meninggalkan anaknya seorang diri di ruang belajar itu. Bunda Pantimen merasa ia harus mengucapkan kata-kata yang sama keesokan harinya, keesokannya lagi, dan hari-hari berikutnya.
Nenek tua yang Ucil ejek itu sekali saja tak pernah ada yang berani mengejeknya. Apalagi nenek tua itu selalu bersikap gugup di tempat duduknya meminta-minta. Waktu itu Ucil sangat jengkel karena sopir pribadinya tidak datang tepat waktu. Lantas, si nenek tua tadi meminta-minta di depan Ucil. Ucil yang tengah geram, bukan memberi uang untuk si nenek, tapi malah menyiramnya dengan olokan yang nyelkit di hati.
Si nenek tua itu menangis. Meskipun si nenek adalah orang yang tak berdaya dan papa. Namun Sang Maha mengerti apa yang ada dalam hati setiap hambanya.
Cepat-cepat Ucil pulang ke rumahnya. Keesokannya ia pingsan berjam-jam. Ia dibawa berobat. Namun dokter mengatakan bahwa Ucil tidak memiliki penyakit apa pun. Tangannya terus gugup, ia malah takut dengan orang-orang sekitarnya, kecuali hanya Bundanya seorang diri yang selalu menemaninya.
Lalu lintas di jalan raya masih ramai dengan kekurangajaran pengguna jalan. Masing-masing saling mendahului, saling serobot mungkin jika tak ada remnya bisa-bisa akan saling tabrak anatara kendaraan yang satu dengan yang lainnya. Ucil duduk termenung di depan rumahnya menatap jauh ke depan, ke dalam dunia kekosongan. Menuju satu titik yang tak terlihat di balik yang tampak.
Air matanya jatuh ke bumi membawa keraguan dalam hidupnya, hidup pasrah tiada arti lagi. Hidup hanya membuat susah kedua orangtuanya. Dia hanya mampu membisu merenungi nasib yang tak menentu itu. Entah berapa lama, ia seperti ini, tak bisa pergi sekolah. Hanya di rumah, ditemani oleh sepi. Apalagi ketika kedua orangtuanya pergi bekerja ia hanya mampu duduk di depan rumah meratapi nasibnya. Memang di rumah itu ada pembantu yang siap melayaninya setiap waktu. Namun, ia merasa masih kesepian dengan keadaannya itu. Satu dua hari memang teman-teman kelasnya pergi menjenguknya. Namun, kini sudah berbulan-bulan tak pernah ada seorang pun yang menjenguknya, walau sekadar bertanya kabar pun tak ada.
***
Di awal bulan Desember Ucil seperti biasanya duduk di depan rumah, memandangi kekosongan yang ada di depannya. Namun, ia sudah merasa terbiasa dengan apa yang ia alami selama ini. Meskipun tak seperti anak-anak yang lain.
Dari arah gerbang terlihat orang berjubah putih menerobos gerbang besi itu. Layaknya udara, lalu orang berjubah itu menghampiri Ucil. Seraya memegang tangannya dan membawanya pergi bersama angin.
Ibunya yang sedang di dapur terperanjat kaget ketika mendengar teriakan Bik Nah pembantunya. Jiwa raga anak semata wayangnya menghilang bersama dengan angin orang berjubah putih tadi.
Tamat



Post a Comment

0 Comments