PISAU KATA-KATA

Sumber: Img.anataranews.com
Apakah akan berhenti untuk saat ini. Atau berhenti untuk selama-lamanya. Tidak menjangkau kehidupan cerita yang begitu menyebalkan. Menyebalkan untukku, rasanya terbakar, tapi bukan berarti terbakar pada cerita, tapi terbakar dengan kata-kata.
Pahit sepekat jamu temuireng, itulah yang aku rasakan saat ini. Mulutku bungkam digembok kata-kata pedas. Pedas layaknya cabai rawit yang merah, merah sangat merah. Pedas seperti ditikam belati. Pedas seperti didihan air seratus derajat celcius. Seandainya kadar panasnya diukur, kukira pengukurnya akan jebol.
Kata-katamu mengalir begitu saja, ceplas-ceplos sekenanya sendiri. Kusimak dari pertama kau berucap, tiada satu pun kata yang lembut atau memang kautak melembutkan ucapanmu. Seakan-akan berbicara dengan angin, berbicara pada lembah-lembah, berbicara pada kegaungan, sekenanya tanpa menggunakan kode etik berbicara.
Apakah pantas orang yang tak mengerti kau hamburi dengan pisau pembunuhmu. Apakah kau tak mengerti, apa kau tak menyadari, apa kau tak berpikir, apa kau tak iba, apa kau tak punya nurani, sampai-sampai dengan mudah kau lukai hati oranglain dengan pisau perkataanmu.
Lisan yang tak terlalu besar dan tak terlalu kecil mampu melukai setiap orang di dekatmu. Kau bagaikan serigala yang menyeringai menakutkan, siap memangsa setiap orang yang menghadangmu. Segala kemauanmu haru dituruti dan tak boleh ada satu manusia pun yang menghalangi perbuatanmu.
Hari-harimu kau isi dengan kedengkian, keirian, ketidaksenangan, maunya hanya menerkam, bahkan membunuh setiap orang. Kau bekerja layaknya pembunuh se-kelas dunia, tanpa belas kasih kau hampiri orang yang kaubenci. Kau jambak rambutnya, kau benamkan pisau belatimu tepat di dadanya. Tanpa nego lagi, tanpa main-main lagi kau lampiaskan segala amarahmu dengan cacian dan makian. Dan bahkan kaubuat mati.
***
Malam ini udara cukup dingin, namun Bunari tetap saja memaksa untuk keluar rumah  membeli nasi goreng kesukaan anaknya. Suaminya telah melarangnya untuk keluar rumah. Namun Bunari tetap keluar rumah.
Bunari berdesis, giginya yang putih gemeretakan menghiasi setiap langkahnya. Angin malam mencoba menyelinap, mencari celah ke dalam tubuh Bunari. Bunari tambah merapatkan resleting jaketnya.
Sesampai dipersimpangan jalan. Wajah kau terlihat samar-samar mendekati Bunari. Bunari yang terkenal akan kesabarannya itu, terdiam, ketika kaucoba membenamkan segala ucapan layaknya pisau belati itu, menerkam tepat di dada Bunari. Bunari tertunduk lesu, menangis, dadanya nyeri sesak.
“Apa salahku.”
“Kamu salah besar Bunari,”
Lalu belati itu mendarat tepat di jantung Bunari. Darah yang berjalan tiba-tiba membeku. Nadi yang semula berdenyut kini mulai surut detaknya. Jantung yang sedari tadi bergerak memompa darah, kini kembang kempis layaknya jam kekurangan baterai. Degupnya semakin lemah, melemah.
Bunari jatuh ke tanah, memegang dadanya yang kembang kempis. Jantungnya tak beraturan lagi untuk memompa darah. Darahnya membeku. Belati yang kau benamkan tadi, sangat ampuh hingga Bunari tak mampu merasakan lukanya lagi.
***
Menurut cerita masyarakat, kautelah lakukan perbuatan yang sama kepada separuh rakyat yang ada di desa ini. Kau lakukan itu tanpa ada perasaan sedikit pun. Tak ada kata maaf, dan bahkan pihak polisi tak mampu menangkap kau.
Benar-benar kata-katamu mampu membunuh setiap orang yang ada di desa ini. Dan akhirnya tak akan ada lagi manusia yang mau mendekatimu.





Post a Comment

0 Comments