Tasawuf

“Antara bingung dan Paham”

Dari segi judul, sepertinya terkesan curhat, akan tetapi, begitulah adanya, yang penulis alami saat ini. Penulis sendiri masih bertanya-tanya? Heran, bingung, dan tepatnya campur-aduk menjadi satu. Jika dianalogikan bagaikan data-data “colision”, kemudian nge-“Heng”.. (Tamatlah riwayat datamu).
Kalau boleh jujur, tokoh yang satu ini terkenal sangat menantang dalam ajarannya. Ia terkenal dengan akan kontroversinya, namun pengkajinya sangat banyak dan tersebar di seluruh belahan dunia. Siapa yang tak kenal dengan tokoh yang satu ini? Yakni dia sang syekh al-Akbar Ibn al-‘Arabi. Meskipun Ia terkenal akan kekontroversiannya, namun masih banyak pengkaji yang mengkaji ajarannya.
Pemaparan tokoh yang satu cukup jelimet, tak heran jika sebagian dari mereka mengalami kesalah pemahaman dalam menafsirkan pemaparannya. Terkadang sebagian dari mereka melabeli Syekh ini dengan sebutan “kafir” dan “zindiq”. Di samping yang menentang ajarannya, ternyata banyak juga yang mempelajarinya, dan bahkan lebih banyak yang mengapresiasi ajarannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Wahdat al-Wujud
Barangkali, terminologi ini merupakan bagian istilah yang tidak asing di dengar dalam benak kita. Yakni sebuah terminologi yang sangat populer dikalangan para sarjana, orientalis, dan sebagainya. Jika dipandang dan dibaca sekilas terlihat sangat mengganjal.
Beberapa orang beranggapan bahwa istilah ini, kemunculannya berasal dari Syekh al-Akbar Ibnu 'Arabi sendiri. Namun, anggapan ini tidaklah sepenuhnya benar. Karena di dalam karya-karyanya al-'Arabi tidak pernah menggunakan istilah ini. Lalu yang menjadi pertanyaan dalam benak kita, jikalau Ibn al-'Arabi tidak pernah menyebutkan istilah ini, lalu siapa yang memperkenalkan istilah ini??
Dalam desertasi Kautsar Azhari Nor, menyebutkan, sebagaimana pemaparan William Chittick, orang yang pertama kali memperkenalkan istilah wahdât al wujûd adalah Sadr al dîn al-Qunawi, yakni salah satu murid ibn al-'Arabi sendiri. Pernyataan Chittick ini, mematahkan pendapat Ibrahim Madkut dan Suad al-Hakim, yang beranggapan bahwa Ibnu Taimiyyah lah yang pertama kali memperkenalkan istilah Ini. Al-Qunawî menggunakan istilah ini paling sedikit dalam dua pernyataan. Namun, istilah yang digunakannya tidak bersifat teknis, akan tetapi digunakan dalam pembicaraan yang wajar. (Barangkali untuk pemahaman yang mudah dan tidak jelimet).
Kemudian istilah ini digunakan dan dikembangkan oleh para murid al Qunawi pada umumnya (sebagaimana yang digunakan oleh gurunya). Namun, peran Taqi al-Din Ibn al-Taimiyyah dalam mempopulerkan istilah ini, cukuplah, bisa dikatakan “berperan penting”. Hal ini terbukti dalam berbagai literatur karangannya, dan tepatnya para ahli sejarah menguatkan demikian. Ibnu Taimiyyah memandang wahdât al wujud ibnu al-'Arabisecara negatif. Bahkan ia menyamakan ajaran Syekh al-Akbar ini sejajar dengan ittihad dan hulul. Dia terlihat hanya mendominasi dari sisi tasybihnya saja, dalam memandang teori yang dikemukakan Ibn al-‘Arabi, dan ia lupa melihat sisi tanzih yang dikemukakan Syekh al-Akbar ini. Padahal antara sisi tasybih dan tanzih yang diyakini ibn al-'Arabi dan pengikutnya, saling berkelindan dan tidak dapat terpisahkan satu sama lain.
***
Ketika berbicara mengenai wahdât al wujûd, kita sebaiknya terlebih dahulu memahami, apa itu wujud (biar nggk saalah penafsiran)? Biasanya term wujud, dalam padanan bahasa Inggris disebut "being" atau "existance". Di samping dua penyebutan tersebut, ada pula yang menyebut dengan istilah “finding”. Kautsar Azari Noer, mengatakan bahwa istilah wujud tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara tepat. Maka menurutnya, sebaiknya istilah ini tidak diterjemahkan, namun dijelaskan maksudnya. Mengenai istilah wujud dalam pandangan Ibn al-'Arabi, yang wajib Wujud hanyalah Allah (mâsiwallah), sedangkan selainnya merupakan wujud pinjaman (ketiadaan). Yang wajib wujud itu hanyalah al-haqq, sedangkan selainnya tidak. Namun dalam hal ini menimbulakan pertanyaan yang urgen. Jika mengatakan yang wujud itu hanya al-Haqq saja, lalu Bagaimana dengan al-khalq? Apakah dia tak memiliki wujud. Lalu mengapa harus ada al-khalq. Dalam menanggapi pertanyaan ini, Ibn al-'Arabi terlihat ambigu. Alam adalah al-haqq, tapi bukan al-haqq ( .(هو لا هو)
Mungkin, jika mencoba memahami jawaban Syekh al-Akbar ini, penulis rasa jawaban yang cukup mengkoyak-koyakkan pembaca. Jadi tidaklah mengherankan jikalau teori yang dikemukakan Syekh ini disalahkan. Barangkali, karena terlalu sulitnya pemaparan yang dikemukakan Syekh ini, sehingga tidak sebegitu mudahnya untuk memahami teorinya. Tak heran jika ada yang mengatakan “penginterpretasian sesuai dengan pembaca, bukan maqam penulis”.




“AL-Fayd al-Aqdass dan al-Fayd al-Muqaddass”


Dalam pandangan ibn al-'Arabi alam merupakan tajalli al-Haqq. Sebagaimana perumpamaan ibn al-'Arabi mengenai cermin. Alam dianalogikan sebagai cermin nama-nama-Nya, alam sebagai locus penampakan-Nya. Karena Dia dalam kesendirian-Nya ingin untuk dikenal dan diketahui.
Pada hakikatnya Tuhan adalah satu namun bertajalli dalam keragaman. Atau disebut esa dalam keragaman. Tajalli Tuhan selalu dan selalu, terus menerus memanifestasikan diri-Nya melalu barzakh nama-nama-Nya. Melalui nama-nama-Nya yang beraneka, yang antara nama yang satu dan yang lainnya berbeda namun, keanekaan Nama-Nama ini adalah esa. Nama-nama ilahi ini bersama-sama menuju kesatuan. Akan tetapi, antara nama yang satu dan yang lain memiliki perbedaan.
Tajalli Tuhan, barangkali terminologi ini seringkali kita dengar, bahkaan bisa dikatakan “tidaklah asing dalam benak kita”. Perlu kita ketahui, Tajalli Tuhan terjadi secara terus menerus, setiap waktu demi waktu. Tajalli menurut Ibn al-‘Arabi dibagi menjadi dua yakni tajalli al-ghayb dan tajalli al-syuhud. Dalam istilah tajalli ini, Istilah yang dibawa Ibn al-‘Arabi hampir sama dengan teori emanasi platonis. Namun, pastinya teorinya berbeda dengan  kaum platonis. Tapi, apakah Ibn al’rabi pernah mempelajari karya plotinus? al-Faydyl dalam skripsinya menjelaskan; bahwa Ibn al-’Arabi tidak pernah mempelajari karya para filosof, dan kemungkinan Syekh al-Akbar terpengaruh oleh pemikiran plotinus sangatlah minim.
Ketika berbicara mengenai Tajalli, Syekh al-Akbar memadankan istilah ini dengan emanasi. Namun, emanasi di sini berbeda dengan pemaparan kaum plotinus, semua yang berasal darI Sang Mutlak mengalir membentuk mata rantai. Emanasi sendiri bagi Ibn al’Arabi  hanya bermakna bahwa Sang Mutlak tampak pada berbagai bentuk dan dalam determinasi yang berlainan dalam setiap kasusnya. Dalam pejelasan ini Syekh  membagi dua bentuk emanasi atau fayd. Yakni “emanasi yang  paling suci” atau al-fayd al-aqdass dan “emanasi suci “atau al-fayd al muqaddass.  Menurut sepahaman penulis  al-fayd al-aqdass hampir sama dengan al-ahadiyyah. Dalam penampakan ini, al-Haqq hanya bisa dikenali oleh Diri-Nya sendiri. Dalam tajalli ini dikatakan oleh Toshihiko Izutsu sebagai tajalli ghayb. Yakni Dia untuk diri-Nya sendiri. Dalam artian Sang Mutlak memanifestasikan diri pada Diri-Nya sendiri. Yang berlangsung sejak azali dan abadi.
Manifestasi diri ini masih belum tampak sebagai maujud, namun berbentuk “in potentia” dalam kesadaran Sang Mutlak. Ibn al- ‘Arabi menganalogikan dengan napas yang tertahan, seperti halnya kita, ketika menahan napas terlalu lama, rasa di dada terasa terbuncah dan ingin segera keluar. Nah? Di sinilah manifestasi Sang Mutlak yang melalui Nama-nama-Nya mencurahkan Rahmat-Nya pada alam. Di tingkat pemanifestasian yang kedua yang disebut emanasi suci, (telah mentajallikan diri-Nya pada alam)  dalam bentuk nama dan sifat-sifat-Nya. Di sinilah “emanasi suci” telah mewujudkan misi “emanasi paling suci”, yang meleburkan pada benda-benda inderawi, dan dengan begitulah alam menjadi eksis secara aktual.
Al-Fayd al-Aqdass juga disebut pula sebagai tajalli yang ghaib. Hal ini berbeda dengan al-Fayd al-Muqaddas yang telah bersifat “syahadah” atau dalam ketampakan. Fayd al-Muqaddas mengacu terhadap arketip-arketip permanen atau entitas-entitas permanen (al a’yan al-tsabitah) yang mengaktualkan atau merealisasikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya dalam bentuk yang konkret. Yang awalnya hanya bersifat potensial dan hanya dapat diketahui oleh Sang Mutlak sendiri. Kemudian yang sifatnya potensial ini mengaktualkan pada alam luar atau memanifestasikan asma’ dan sifat-Nya pada alam semesta. Ditahap kedua inilah, pada umumnya seseorang mengenali Tuhan dari dirinya sendiri. Yang permulaannya Sang mutlak dalam kesendiriannya, yang tak mampu dikenali bahkan tak bernama, kemudian mampu dikenali dan disebut Tuhan.
***
Alam merupakan cermin Tuhan untuk melihat nama dan sifat-sifat-Nya. Antara al-Haqq dan al-Khalq bersifat transenden sekaligus imanen. Yang tampak dan Yang tidak tampak, dzahir dan batin. Yang tampak mengandung Yang tidak tampak. Alam dzahir mengandung Yang tidak tampak. Sebenarnya antara Yang tampak dan Yang tidak tampak adalah dua penyebutan dalam satu entitas al-haqq Yang esa. Yang tampak selalu mengafirmasi adanya lawannya yakni Yang tidak tampak. Antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Ibn al-'Arabi mengatakan "Dia adalah Yang pertama dan Yang terakhir, Yang tampak dan Yang tidak tampak. Dia adalah entitas apa yang tampal dan pada saat yang sama adalah entitas apa yang tidak tampak dalam keadaan penampakan-Nya" ( dikutip langsung dari desertasi Kautsar Azari Noer). Dia adalah zahir dan batin, Dia mentajallikan nama dan sifat-Nya pada alam, agar Dikenal dan ciptaan-Nya memujinya. Dalam artian Dia memuji sekaligus yang dipuji. Antara memuji dan yang dipuji termasuk kesatuan. Penulis rasa penjelasan mengenai ketuhanan ini lebih bersifat ambigu dan lebih-lebih membingungkan. Syekh al-Akbar Ibn al-'Arabi memaparkan, untuk mengatasi kebingungan seseorang harus berpengetahuan benar dengan memadukan antara Yang satu dan Yang Banyak. Sepertinya dualitas, seperti Yang tampak dan Yang tidak tampak, Yang transenden dan imanen, Yang dekat dan Yang jauh, dan sebagainya. Dan hal ini, cukup subtil, apalagi ditelaah dengan akal pikiran, tentu, rasanya mustahil. Ibn al-'Arabi menjelaskan tentang teori ontologisnya mengenai al-haqq dan al-khalq, satu entitas dalam banyak bentuk. Adakalanya keduanya sama, namun dilain sisi berbeda. "Dia bukan Dia".
***
Penulis sendiri cukup bingung dalam memahami pemaparan yang dikemukakan oleh Syekh al-Akbar. Di samping afirmasi, sekaligus Negasi, hal ini menunjukkan keambiguan dalam penjelasannya. Namun, Syekh al-Akbar menegaskan untuk memahaminya perlu meyatukan kontaradiksi-kontradiksinya. Seperti halnya, Yang tampak dan Yang tidak tampak, Yang lahir dan Yang batin, tanzih dan tasybih, imanen dan transeden, Yang satu dan Yang Banyak, dan sebagainya.
Dalam memahami kajian ini tidaklah dapat terpisah dari kontradiksi-kontradiksi yang memang antara yang satu dan yang lainnya terkait. Seperti halnya Tanzîh yang berasal dari kata “nazaha” yang berarti menjaga sesuatu dari berbagai cemaran noda/ objek materi. Lebih tepatnya membebaskan makna Sang Mutlak dari ketidaksempurnaan. Menurut Ibn al-‘Arabi yang cenderung menekankan sifat ini, biasanya dilakukan oleh para teolog. Seakan-akan Sang mutlak hanya memiliki sifat transenden dan tidak memiliki sifat imanen sedikit pun, lebih tepatnya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan alam ciptaan-Nya. Akan tetapi, menurut Syekh al-Akbar ini tidak lah seperti itu. Menekankan dari sisi Tasybih saja, dirasa kurang tepat. Oleh karena itu, Syekh al-Akbar menganjurkan agar antara keduanya tidak dapat dipisah satu sama lain.
Menurut Syekh al-Akbar, hanya dalam islam yang memaparkan tentang tanzih dan tasybih Sang Mutlak. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan pengikutnya. Syekh al-Akbar mengulas mengenai kisah Nabi Nuh dan pengikutnya. Meskipun semua Nabi dijami ma’sum, entah kenapa menurut Syekh ini Nabi Nuh mengalami kekeliruan dalam berdakwah pada kaummnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tokoh yang satu ini memaparkan bahwa Sang Mutlak dalam kemutlakan-Nya (atau Tuhan yang digunakan dalam tradisi monotheistik Tuhan “per se”
)
hanya mampu disandingkan pada-Nya. Dialah yang Wajib al-Wujud, sedangkan selain-Nya hanyalah mumnkin al-Wujud. Tuhan yang mutlak ini, yang disebut oleh Sang Syekh sebagai al-Ahadiyyah atau Tuhan dalam kesendirian-Nya. Yang tak mampu dipersepsikan dan bahkan belum ternamai sedikitpun. Yang tidak bersyarat, bahkan tidak bisa djadikan sebagai objek kajian dalam pemikiran manusia. Hanya Dia yang mampu mengenal Diri-Nya sendiri (Kanza Mahfi), yakni Tuhan dalam kesendirian-Nya.
Ada sebuah hadis yang mengatakan “Bahwa Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, karena Aku ingin dikenal maka Aku ciptakan...”(ditulis seingat penulis). Dari Sang Mutlak yang tidak mampu dipersepsikan, kemudian Sang Mutlak memanifestasikan atau mentajallikan asma’ dan sifat-Nya dalam alam ini, agar Dia dikenal.


























Barangkali kita selalu dihegemoni dengan pemahaman yang terlalu dangkal terhadap pembagian-pembagian dalam pemikiran dan amaliah tasawuf yang biasanya diamalkan oleh pelaku tasawuf. Seringkali kita mendengar, membaca, bahwa taswuf dibagi ke dalam tiga tipe, yang pertama tipe sunni, falsafi, dan salafi. Tasawuf sunni adalah pelaku tasawuf yang  melakukan amalannya tanpa mengharap untuk bersatu dengannya. Sedangkan falasafi sebaliknya. Tasawuf sunni biasanya disandarkan pada para tokoh semisal al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami dan lain sebagainya. Sedangkan tasawuf falsafi biasanya dinisbahkan kepada pelaku taswuf yang bermazhab cinta, semisal Abu Yazid al-Busthami, Al-Hallaj, Suhrawardi al-Maqtul dan lain sebagainya. Akan tetapi, yang terbersit dalam pihak penulis, apakah memang benar demikian? Apakah pelaku tasawuf Sunni hanya menekankan pada hal itu tanpa adanya sentuhan filsafat sama sekali, atau malah ada. Atau taswuf falsafafi juga demikian. Lantas, sebenarnya, siapakah yang membagi dan mengkotak-kotakkan hal ini.
Penulis menulis hal ini, berawal dari sepemahaman penulis mengenai kita karangannya yang kurang fenomenal di kalangan masyarakat. Yakni “ Misykat al-Anwar” ceruk-ceruk Cahaya. Nah, di sini bisa dikatakan bahwa karangan al-Ghazali ini sebagai pencetus konsep illuminasionis, kemudian disempurnakan atau lebih komprehensif dinbahas oleh Suhrawardi al-Maqtul. Dalam karangan al-Ghazali ini, terkesan dia juga membahas mengenai cahaya. Hal ini terlihat al-Ghazali seorang filosofis juga.
Ketika membicarakan mengenai al-Ghazali sebagai







Post a Comment

0 Comments