Ketika berbicara tentang sabar, tentu mengingatkan aku pada
kejadian yang sangat menggemaskan. Pas waktu Sekolah Dasar, aku sebenarnya
waktu itu masih berumur enam tahun, namun karena semua teman-teman seumuranku
sekolah, jadi aku tergiur untuk ikut sekolah. Aku ingat betul waktu itu, aku
meraung-raung nangis tak karuan, tak mau masuk rumah, cuman gara-gara aku tak
bersekolah. Menangis meraung-raung, bak anak ayam terlepas dari induknya. Ibuku
malah menggendongku, dan ia dengan sabarnya, mencoba menenangkan aku. Ibu
bilang, “Ya, sekolah Nur, nanti beli seragam dulu”, bukan girang
mainnya. Aku sebagai anak kecil yang tak paham apa-apa, dituruti kemauanku
saja, aku jadi melonjak-lonjak, kegirangan, malah tak jadi menangis. “Mak, aku
ingin sekolah SD sama kakak itu”, kira-kira begitulah pintaku pada ibu. Padahal
waktu itu, aku masih belum cukup umur, kira-kira aku masih berumur enam tahun.
“Nur, sekolah TK saja ya”, ibu malah menawarkan yang lain. Aku yang mendengar
tawaran ibu, malah jadi menangis, meraung-raung, berguling di tanah depan rumah
tetangga sebelah. Ibu terus saaja membujukku, dengan sabarnya. Meskipun aku
dibujuk, tetap saja keinginanku harus terpenuhi. Sepertinya ibu terlihat iba
melihat tangisku yang tak menentu itu. Kemudian ibu merundingkan perihal
keinginanku ini pada Ayah. Ayah malah mengernyitkan dahinya, dan mengiyakan.
Waktu itu juga, orangtuaku membeli seragam untukku. Ketika mengingat sejarah
kehidupan diri sendiri, rasanya lucu, bahkan rasanya malu, dibuat gemes.
Sikapku waktu kecil kata ibu “manja”, sekali dijanjikan sesuatu, pasti aku
menagihnya, dan tak jarang aku meraung-raung. Aku tak pernah membayangkan,
bagaimana sulitnya ibu meredamkan anaknya yang meraung-meraung.
0 Comments